Malam hening bertabur bintang yang menemani bulan, rasanya langit terlalu ramai kala ini. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, sepi dan hambar. Kali ini semburat cahaya dari bulan sabit bersatu padu dengan cahaya temaram dari lampu-lampu di jalanan. Hembusan angin malam menerpa wajah yang membuat permukaan kulitnya yang sudah dingin menjadi semakin dingin. Bahkan hoodie yang dia pakai cukup tebal pun tak mampu mengusir rasa dingin yang terus menggerogoti tubuhnya perlahan-lahan.
Kepalanya mendongak untuk melihat langit yang bertabur bintang. Tudung hoodie-nya melorot ke bawah, hingga memperlihatkan seluruh lekuk wajahnya. Matanya yang terpejam itu menikmati setiap rasa sesak yang terus hadir kala dia mengambil napas, bahkan rasa menggigil dan demam yang telah dia rasakan terus dia tekan agar kesadaran terus hadir.
Netranya terbuka, kedua tangannya dia masukan pada saku celana training berwarna hitamnya. Sambil melangkah kaki menuju rumahnya, dia terbayangkan wajah gadis yang selama ini terus mengganggu pikirannya. Bukan hanya kali ini, tapi selama tiga tahun belakangan ini, gadis itu terus berada dalam pikirannya. Tak pernah pergi dan tetap singgah di sana, bersama dengan milyaran kenangan yang bertumpuk.
"Gadis yang aneh," gumamnya, lalu sebuah senyuman kecil itu terpatri pada wajahnya yang sedikit pucat.
Dia mencoba menggenggam udara dalam kepalan tangan kanannya. "Hanya sebuah pengandaian yang dapat aku harapkan untuk gadis itu, sebuah kesembuhan yang sempurna baginya. Meskipun raga ini tidak tahu sampai kapan akan terus menemaninya, dan melihatnya tumbuh seperti kebanyakan gadis lainnya," ujarnya pada diri sendiri. Dia memang tidak bodoh saat orang tuanya mengajak dia untuk melakukan beberapa tes medis; pemeriksaan dada, penggunaan sinar-X, dan tes darah serta sekresi pernapasan.
Terutama saat dia mengetahui gejala-gejala yang muncul padanya. Dia tahu semua itu, tapi dia mencoba untuk tegar. Tidak mengeluh, atau pun mengelak dari kenyataan. Kenyataan bahwa ada kemungkinan monster dalam tubuhnya, akan melahap dengan ganas setiap partikel terkecil pada tubuhnya.
•×•×•×•
Laki-laki itu mengendap-ngendap berjalan menuju kamarnya dengan penuh kehati-hatian, takut akan terkena omelan besar dari orang yang sangat berarti dalam hidupnya. Lampu rumah pada bagian ruang tengah telah padam, kemungkinan besar mereka telah tidur. Helaan napas lega keluar dari mulutnya, tidak berhenti merapalkan berbagai kalimat penghilang rasa takut ketahuan itu.
Hingga sesuatu yang dia takutkan pun terjadi, lampu yang tadinya padam kini sudah terang, memperlihatkan dua orang yang duduk bersampingan di sofa, menatap ke arahnya dengan wajah menahan emosi.
Dia menggaruk tengkuknya. "Hehe, ketahuan, ya?" tanyanya sama sekali tidak membuat dua orang itu menatap ramah kepadanya.
Mati riwayat gue! rutuknya dalam hati.
Salah satu di antara mereka berjalan mendekat dan menjewer telinga kirinya. "Aw! Ampun, Bun. Sumpah, Adek gak bakalan nakal lagi ... aw!" Rintihan dari Hoshi ini tidak membuat Adira-Bundanya-merasa iba pada putranya yang seringkali membuatnya kewalahan dalam mendidiknya.
"Kamu itu ya! Sampai kapan pulang malam terus? Gak ada sekolah yang pulang sampai larut malam gini!" seru Adira dengan kesal.
Hoshi hanya bisa pasrah ketika Bundanya sedang dalam mode marah seperti ini, bibirnya terus mencebik kesal. "Kalo Kakak aja yang pulang malam gak pernah kena omel, giliran gue, selalu kena imbasnya."
Kalimat Hoshi itu terdengar oleh Adira, jelas saja Adira lebih percaya pada putra sulungnya daripada putra bungsunya ini. "Kamu itu--" Kalimat Adira terpotong karena melihat putra sulungnya yang baru kembali ke rumah, setelah dua jam yang lalu meminta izin padanya dengan keadaan yang masih sama seperti saat dia meminta izin. Adira bernapas lega karenanya.
"Kak, habis dari mana kamu?" Pertanyaan itu menyambut kedatangan Refano Samuel di rumahnya.
"Habis cari udara segar, Bun. Uhuk-uhuk, ehkem." Adira menatap nanar putra sulungnya itu dengan perasaan khawatir.
"Refan, gak kenapa-napa, Bun," lanjut Refan karena mengerti kegundahan Bundanya.
Ia melirik ayahnya yang sedang menatap tajam pada ... Refan mengikuti arah pandang ayahnya dan menemukan adik bungsunya itu sedang dijewer oleh Adira. Ia terkekeh pelan dan geleng-geleng melihat tingkah adiknya yang sama sekali tidak-belum-berubah sama sekali meskipun sudah kena tegur.
Hoshi mendelik pada kakaknya. "Apa lo lihat-lihat? Mau ikut-ikutan ngomelin gue?" tantang Hoshi pada Refan.
Refan menggeleng lalu menepuk pelan kepala Hoshi. "Jadi Adik terbaik, ya?" Lalu Refan mengedipkan matanya pada Hoshi, berniat menggoda adiknya itu.
Hoshi bergidik ngeri. "Gue masih normal, ya!" protes Hoshi yang kali ini dihadiahi oleh sebuah cubitan pada pinggangnya.
"Bun, sakit tahu!" rengek Hoshi yang membuat Adira menatapnya sambil berkacak pinggang. "Pergi ke kamar, cuci kaki, cuci muka dan langsung tidur!" titah Adira dengan tegas.
"Jangan sampai bergadang atau ponsel dan PS kamu Ayah sita!" sambung Raka-Ayah Refan dan Hoshi- menatap nyalang pada Hoshi yang kini hanya bisa mendumel dalam hati.
Refan merangkul Adiknya itu dan berpamitan untuk tidur duluan. "Gak usah pake acara rangkul-rangkul segala kali, Kak!" sinis Hoshi pada Refan yang malah tertawa renyah saat mereka menaiki anak tangga. Menyebalkan sekali bukan jika mempunyai Kakak yang se-menyebalkan laki-laki ini? Rasanya Hoshi ingin menendang Refan hingga ke Antartika kalau perlu.
"Lo itu anak yang baik, Hoshi," tutur Refan, kata itu membuat Hoshi tertegun sesaat. Tidak ada yang pernah bilang begitu padanya. Bahkan orang tuanya pun terbilang jarang mengatakan hal demikian.
"Jangan berbuat hal yang nekat hanya karena lo mau diperhatikan," sambung Refan, lalu mereka berpisah di lorong lantai dua. "Kalau gitu, selamat malam, Shi," pamit Refan dan masuk ke kamarnya yang berada di samping kamar Hoshi.
"Dasar, Kakak ajaib," ucap Hoshi sambil tersenyum, ia menatap pintu Refan dengan berbagai perasaan yang berkecamuk. "Gue harap, meskipun gue gak ada sekali pun. Mereka pasti tetep bangga punya anak kayak lo, Kak. Selamat malam juga." Hoshi pun masuk ke kamarnya dengan sedikit menitikan air mata.
"Cih, laki-laki itu gak boleh nangis! Dasar cengeng!" maki Hoshi pada dirinya sendiri saat teringat akan suatu hal.
•×•×•×•
Sebelum tertidur, laki-laki itu sempat menimbang kembali keputusannya. Dia bertanya apakah keputusannya sudah benar atau tidak? Apakah pilihannya layak ataukah tidak? Pikiran itu terus membelenggu dirinya hingga membuat dia tak sadar kini perlahan mulai terlelap.
Dia juga tidak sadar bahwa permintaan kecil yang sempat dia ucapkan pada langit, telah mendapatkan restu dari makhluk langit yang mengaminkan permohonan-permohonannya. Tidak ada yang lebih baik atau pun buruk dari pada lidah, karena itu adalah senjata yang dapat membuatmu tersenyum bahagia atau menjadi boomerang pada kehidupan kelak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desire [END]
Teen FictionManusia tidak ada yang sempurna, semua pasti memiliki kemampuan yang seimbang dengan kekurangannya. Tidak ada yang berlebih, hanya saja kita yang melebih-lebihkan. Kesuksesan bukan hanya untuk orang yang terlahir sempurna, selama ada tekad dan usaha...