Part 25

55 9 6
                                    

"What the ...."

Pekikan dari gadis di sebelahnya membuat Kama menutup telinga, kemudian ia menggosokkan tangannya di sana. "Kalau mau teriak, kira-kira dong!" ujar Kama kesal.

"Gue kan kaget lihat itu," ucap Kalila.

Tangan Kalila berpindah mencengkeram lengan Kama, ia meremasnya pelan. "Apa kita harus tanya sama mama dan papa?" tanya gadis itu pelan.

Keduanya hening, Kama memikirkan langkah mereka ke depannya harus bagaimana. Rasanya tak mungkin kedua orang tua mereka tidak mengetahui hal ini, tapi tak menutupi kemungkinan juga mereka tidak tahu. Semua bisa saja menjadi pilihan bukan?

****

Acara yang sudah tersusun rapi itu menjadi berantakan tatkala Ica kukuh tidak ingin pulang, ia bersikeras untuk menemani Refan hingga laki-laki itu terbangun.

Posisinya tak bergerak sedari ia datang, bahkan makan pun Ica tidak mau. "Refan, ayo bangun! Biasanya Refan gak suka lihat Ica nangis, Refan selalu marah kalau Ica sedih. Sekarang Ica lagi sedih gara-gara Refan, gak ada niatan Refan buat sadar?"

"Refan, bangun! Hapusin air mata Ica!" paksa Ica dengan menggoyangkan tangan Refan yang terlelas dari selang infus, ia frustrasi meski tak melihat bagian tubuh Refan yang terluka.

Dalam ruangan VIP itu hanya sisa mereka berdua, teman-temannya pamit duluan. Arti pamit menurut mereka itu, pulang ke rumah Ica untuk mengambil kue ulang tahun gadis itu. Hanya saja Ica tak tahu hal tersebut, sedangkan Hoshi pamit pulang untuk membersihkan diri.

Padahal bisa saja laki-laki itu bersih-bersih di kamar mandi yang ada dalam ruangan Refan, alasan dia saja yang ingin menenangkan hati.

Pagi sudah berganti malam, matahari sudah menyelesaikan tugasnya hari ini. Kepala Ica rasanya semakin berat, ah ia lupa bahwa tadi sempat demam.

"Ica sayang Refan, cepat bangun ya!" Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Ica merebahkan kepala di dekat tangan Refan. Tangannya sebelah kanan dijadikan bantalan, sedangkan yang kiri menggenggam tangan Refan.

Selang beberapa lama, mata yang sedari tadi terpejam itu mulai terbuka. Ia mengerjapkan mata berkali-kali untuk menormalkan pandangan, hingga pandangannya jatuh pada gadis yang tertidur pulas.

Seutas senyum di bibirnya tertarik, Refan berusaha bangkit meski tubuhnya nyeri sekali. Perlahan ia turun dari brankar, menyejajarkan posisinya dengan Ica.

Setelah puas melihat gadis yang tertidur itu, Refan mengangkat tubuh Ica dan membaringkan di ranjangnya. Ia tersentak kaget saat merasa tubuh Ica yang panas, buru-buru laki-laki itu menekan tombol darurat yang berada di dekat kepala ranjangnya.

"Dingin," ucap Ica dengan mata yang masih terpejam.

"Refan, dingin!" Seolah terpanggil, Refan ikut merebahkan diri di samping ini. Bersyukur sekali brankar tersebut bisa memuat dua orang, bahkan sepetinya bisa lebih.

Tangan Refan merengkuh Ica agar mendekat padanya, ia memeluk gadis itu dengan erat. "Tenang, Ca! Ada aku di sini, aku bakal jagain kamu," ucap Refan.

Suara langkah kaki yang berlarian di luar tidak membuat Refan menjauhkan posisi mereka, apalagi saat seorang Dokter masuk.

"Loh?" tanya Dokter itu heran.

Desire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang