Sepeninggal Miranda, perlahan beberapa sahabat Ica beranjak pulang ke rumah masing-masing, kecuali Fira dan Yuka yang masih setia menunggu. Tadinya, Yuka sangat ingin menemui Hoshi, meminta kejelasan cerita kecelakaan dari sudut pandang pelaku. Namun, hal itu harus ia kesampingkan sementara, karena menurutnya, menunggu hasil operasi Ica jauh lebih penting dari apa pun.
Isak tangis dari kedua netra Fira telah berangsur membaik, bahkan terlihat sudah berhenti. Kini, gadis manis yang tengah berada di samping Yuka, justru menatap kosong ke bawah. Entah apa yang dipikirkannya.
Perlahan tangan Yuka tergerak mengusap punggung Fira, memberi sugesti terbaik padanya. Berusaha membuatnya percaya, bahwa semua akan baik-baik saja. Kemudian gadis itu tersadar dari lamunannya, kedua bola matanya terbelalak sejenak, hingga akhirnya ia menoleh kepada Yuka. Memberikan senyum terbaiknya.
"Kamu mikirin apa, sih?" tanya Yuka menghentikan aktifitas tangan dari punggung Fira.
Fira hanya menggeleng singkat. "Fira gak mikirin apa-apa, kok."
Yuka hanya memejamkan kedua netranya sejenak, lalu menghembuskan napas berat. "Bohong. Masa gak mikirin apa-apa, tatapan kamu sampai kosong gitu." Fira hanya cengengesan sambil mengusap tengkuknya yang tidak gatal. "I-itu ... Fira mikirin, enak banget jadi Ica. Punya dua orang tua yang baik, perhatian, sangat berbanding terbalik dengan keadaan Fira."
Gadis itu menghela napas sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. "Fira mau, deh. Ngerasain disayang sama kedua orangtua. Pasti enak!"
Yuka menarik tubuh Fira menuju pundaknya, mengusap surai hitam itu lembut, membisikkan kata-kata penenang, "Fira pasti akan merasakannya suatu saat nanti. Percayalah!"
Segurat senyum terukir indah pada wajahnya. Menurutnya, perkataan Yuka ada benarnya. Meski ia tidak tahu kapan akan mendapatkan hal yang didambakannya sejak dulu, ia tidak boleh putus berharap! Ia harus terus percaya, bahwa semua akan indah pada waktunya. Ya, Fira hanya harus menunggu waktu yang tepat untuk Tuhan mengabulkan keinginannya.
Semakin lama surai itu diusap, membuat sang empu tertidur dibuatnya. Yuka pun menghentikan kegiatannya, dan bergantian menatap lurus ke depan. Pikirannya mengajak ia untuk menari dan terbang tinggi. Sangat kacau. Dirinya sangat ingin mengetahui cerita akan berita kecelakaan yang terjadi siang tadi. Namun, di sisi lain, ia juga sangat ingin melihat sahabatnya yang berhasil melewati operasi dan dapat kembali melihat.
Ah, aku bingung! batin Yuka lalu menyandarkan kepalanya pada dinding putih yang ada di belakangnya. Matanya terpejam syahdu. Ah, pikirannya ternyata bukan hanya dua hal itu. Tiba-tiba ia teringat akan sosok yang senantiasa menghantui pikirannya-Refan.
Dia apa kabar, ya?
* * * * *
Hoshi akhirnya sampai di rumah sakit di mana Kalila melakukan operasi akibat kecelakaan tabrak lari tadi siang. Tanpa menanyakan ruang operasi pada suster, Hoshi terus bergegas mencarinya sendiri melalui petunjuk-petunjuk hijau yang tergantung di langit-langit. Langkahnya terus terayun mantap dengan hati yang sudah tidak beraturan bentuknya. Hal yang ia bayang-bayangi ialah, jika keluarga Kama tidak menerima kehadirannya dan malah mencaci maki habis-habisan.
Oleh karena itu, Hoshi berusaha menyiapkan mental terbaik untuk menghadapi segala penolakan dan hujatan keluarga korban pada dirinya sebagai pelaku.
Langkah kakinya kemudian terhenti begitu tatap matanya mendapati sosok yang hampir saja menghabisi nyawanya karena telah menabrak adik kesayangannya. Kama terlihat sedang pusing dari raut wajahnya. Ah, apa ini karena ulah dirinya, ya? Membuat sahabat kakaknya menjadi banyak pikiran dan kecewa berat pada dirinya. Bagaimana tanggapan Refan jika ia mengetahuinya?
Mereka sama-sama terdiam pada posisinya dengan jarak yang membatasi keduanya. Hoshi enggan melangkahkan kakinya karena merasa gengsi. Tanpa berpikir panjang, Kama melanjutkan langkahnya dan memotong jarak di antara mereka. Hoshi pun segera berusaha menyapanya agar suasana menegangkan ini segera padam.
"H-hai ... eh? Lo mau bawa gue ke mana?!" Kama justru menarik lengan Hoshi paksa, membawanya ke suatu tempat tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
BRUGH
Setibanya mereka di atap rumah sakit yang sepi, Kama kemudian melempar Hoshi sembarang. Hoshi sempat meringis kecil, lalu berusaha bangkit dari posisi terjatuhnya-menatap kobaran amarah pada kilat mata Kama.
Baru saja terbangun, Hoshi sudah mendapat kiriman pukulan lagi pada pipinya. Melihatnya tersungkur, tidak membuat Kama kasihan sedikit pun. Dirinya justru siap memberi pukulan lain begitu Hoshi terbangun. Kala tonjokan itu siap menyapa bagian tubuh Hoshi yang lain, Hoshi segera menangkalnya dengan satu tangan. Membuat Kama terlihat semakin geram.
"Mau apa lo ke sini, hah?!" tanya Kama naik pitam. Amarahnya sudah tidak dapat ia tahan lagi semenjak melihat sosoknya saat di lorong rumah sakit tadi.
Hoshi menjawabnya dengan senyuman kecil. "Gue cuma mau minta maaf. Gak boleh?" Tanpa mendapat balasan dari mulut Kama pun, Hoshi sudah mengetahui jawabannya melalui tatapan mata yang dipenuhi guratan amarah itu.
"Ya ... tadinya, gue berniat menemui Ayah atau Ibu lo. Gue gak berharap ketemu dengan lo, karena gue tahu, lo bakal seperti ini."
Kama masih terdiam di tempatnya. Bagaimana pun, ia juga ingin mengetahui motivasi apa yang membuat Hoshi mengunjungi keluarganya. Jika alasannya tidak masuk akal dan tidak dapat diterima, barulah tonjokan lain akan ia kerahkan.
"Ya ... walaupun akhirnya, takdir berkata gue harus bertemu dengan lo. Bikin urusan yang harusnya singkat ini, jadi berantakan karena lo."
"CEPAT KATAKAN, APA YANG LO MAU!" teriak Kama hampir hilang kesabaran. Hoshi kembali tersenyum santai. Mengambil sesuatu dari saku celananya, kemudian berjalan mendekat kepada Kama. "Nih, ambil." Hoshi menyerahkan uang tabungannya yang dibalut kertas cokelat sebagai dompet sederhananya.
Sebelum Kama berkata-kata, Hoshi sudah lebih dulu memotongnya. "Jangan tolak pemberian gue. Ya ... walau emang nggak seberapa, sih. Anggap aja, itu permintaan maaf gue pada keluarga lo."
Hoshi sempat menepuk-nepuk pundak Kama pelan, sebelum dirinya berjalan melalui sahabat kakaknya yang hanya berdiri terdiam di tempatnya. Sebelum tangannya meraih gagang pintu menuju tangga darurat, ia sempat menoleh ke belakang, mendapati Kama yang masih belum berkutik.
"Gue harap, lo dan keluarga lo mau memaafkan kesalahan yang sudah gue perbuat!" teriak Hoshi kencang agar sang empu dapat mendengarnya dan paling tidak, menoleh padanya.
Kama kemudian tersadar dari lamunannya, menoleh pada sosok yang telah berada di belakangnya. Mengirim senyuman penuh gengsi. "Thanks, Shi!"
Hoshi hanya membalas senyuman itu. "Jangan emosi lagi! Jangan bengong terus! Gue yakin adik lo baik-baik aja!" ujarnya sambil berteriak karena ia mengucapkannya dari jarak yang cukup jauh.
Kama kemudian teringat sesuatu, dan segera mengatakannya selagi Hoshi masih di sini. "Shi! Sampaikan juga permintaan maaf gue pada Refan, ya!" Hoshi hanya mengangguk meski tidak mengerti apa yang Kama maksud. Ia segera melangkahkan kakinya menuruni tangga, meninggalkan Kama yang masih di tempatnya.
Sesampainya di lorong tempat mereka bertemu tadi, ponsel yang berada di saku celananya bergetar. Ia segera menghentikan langkahnya, dan meraih ponsel itu untuk mengecek siapa yang mengirim pesan padanya.
Rakama Teman Abang
Shi, gue harap, lo gak benci sama gue.Gue ... minta maaf, karena sudah memaksa Ica buat mendonorkan darahnya demi kepentingan adik gue. Sekarang, Ica tengah terbaring lemah di rumah sakit lain, untuk persiapan operasi mata.
Rakama Teman Abang
Sekali lagi, maafin gue, Shi. Gue memang egois. Dan terima kasih atas bantuan lo. Gue udah maafin lo.Hoshi tidak sempat untuk membalas pesan yang ternyata dari Kama. Ia segera melangkahkan kakinya cepat menuju lobby tempat mobilnya diparkir. Ia sangat ingin menemui Ica, apalagi melihatnya dapat merengkuh indra penglihatan. Satu yang kini mengganggu pikirannya.
Di mana rumah sakit tempat Ica dioperasi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Desire [END]
Teen FictionManusia tidak ada yang sempurna, semua pasti memiliki kemampuan yang seimbang dengan kekurangannya. Tidak ada yang berlebih, hanya saja kita yang melebih-lebihkan. Kesuksesan bukan hanya untuk orang yang terlahir sempurna, selama ada tekad dan usaha...