Part 33

41 9 0
                                    

Hari demi hari berlalu. Sudah terhitung tujuh hari semenjak kencan pertama dua sejoli di tempat yang sunyi itu. Kini, di hadapan bingkai jendela yang mengembuskan angin nan segar, terdapat seorang gadis berparas cantik yang tengah terduduk memangku wajahnya.

Sudah menjadi kebiasaan yang selalu ia jalani sebelum benar-benar terbang ke dunia mimpi. Malam ini sangat sepi, Ica hanya ditemani oleh suara hewan yang sangat ia hapal—jangkrik, dan beberapa kunang-kunang yang asyik berterbangan di atas hamparan rumput hijau. Andai saja, kedua netra itu dapat melihatnya. Mungkin, dirinya akan terkagum-kagum pada lukisan Sang Pencipta yang tidak ada duanya ini.

Selang tiga puluh menit melamun di depan jendela kamarnya, Ica pun lalu menutup jendela itu dan memutar kursi rodanya untuk menuju kasur—berniat untuk memejamkan mata karena ia pikir sudah cukup larut.

"Selamat malam, dunia."

Saat berada di atas kasur pun, Ica tetap tidak dapat tidur dengan nyenyak. Pikirannya melayang jauh pada sosok cinta pertamanya yang sudah resmi berstatus sebagai pacarnya. Sudah lebih dari enam hari Ica tidak berjumpa dan mendengar kabar tentang Refan. Lelaki itu bagai menghilang begitu saja dari kehidupannya.

"Refan, kamu ke mana, sih? Kenapa gak ngunjungin Ica lagi?" monolog Ica lalu menutup matanya dengan lengan tangan kiri. "Ica rindu, khawatir, dan Ica harap Refan baik-baik saja di sana."

Begitulah gumaman terakhir yang dapat Ica sampaikan. Setelahnya, rasa kantuk yang teramat menghampiri gadis berparas cantik itu dan menyapanya—mengajaknya dengan manis untuk mengarungi dunia mimpi.

*****

Malam berganti pagi. Jam dinding menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Ica sudah siap dengan seragam sekolahnya yang lengkap, dan tengah berkutat dengan sarapannya di meja makan. Miranda dan Tono turut hadir di antara mereka, semenjak kepulangannya seminggu yang lalu, dan mereka mengambil cuti selama itu hanya untuk mengajak putri semata wayangnya pergi mengelilingi Indonesia. Ya, jika dihitung-hitung, sebagai hadiah ulang tahun Ica.

Hal itu cukup membuat Ica senang tidak kepalang. Bepergian ke tempat impian bersama keluarga, memang mengasyikan, bukan? Namun, kesenangan itu harus Ica sudahi mengetahui sekarang sudah hari Senin—di mana Mami dan Papinya harus kembali mencari nafkah ke luar kota, dan kembali di Minggu yang akan datang. Sungguh detik-detik yang menyedihkan.

"Mi, Pi, Ica sudah selesai makan, nih. Yuk, berangkat!" ajak Ica setelah menaruh piring bekas makannya dan mencuci kedua tangannya dengan sabun. Miranda dan Tono juga sudah sampai dipenghujung kegiatan makannya, mempercepat aksinya agar putri semata wayangnya tidak perlu menunggu lebih lama.

Sembari menunggu, Ica menuju teras dan memakai sepatunya dengan riang. Walaupun semalam ia dipenuhi berbagai pikiran, namun, tetaplah prinsipnya harus dijalankan. Ya, menjadi sosok yang periang dan menghapus segala pikiran buruk dan menggantinya menjadi positif. Ica harus percaya bahwa Refan tidak kenapa-napa, dan ia juga seorang manusia yang butuh kebebasan dari hubungan yang biasanya terikat ini-itu.

"Refan berhak bahagia." Seutas senyum terpatri di wajahnya—membuatnya nampak lebih manis dari biasanya. Tono yang sejak tadi berada di belakang, kemudian terkekeh melihat putrinya senyum-senyum sendiri entah memikirkan apa.

Tono melangkah maju dan mengacak puncuk rambut Ica gemas. "Kamu mikirin apa, sih? Sampai senyum-senyum gitu. Siapa tadi? Re—"

"Enggak ada apa-apa, kok, Pi!" potong Ica menahan malu. Ia yakin pipinya sudah memerah kini, karena hawa panas ia rasakan menjalari tubuhnya.

Miranda kemudian datang memecah rasa malu Ica dan memotong perkataan yang akan Tono lontarkan dengan mengajak keduanya menuju mobil. Ica tersenyum menang, mengejek papinya yang tengah mengerucutkan bibir. Alangkah senang dirinya kini, karena sudah tidak perlu menggunakan kursi roda lagi untuk berpergian—yang tentunya lebih merepotkan orang lain.

Ica berjalan menggunakan tongkat penyangga dengan hati-hati. Tono terus mengawasinya dari belakang, berjaga-jaga apabila terjadi hal yang tidak diinginkan nantinya. "Ca, kamu harus lebih hati-hati, ya! Karena kamu lebih mudah jatuh dan menabrak jika menggunakan tongkat dibanding kursi roda."

"Siap, Ayahanda!" balas Ica meniru gaya hormat dan ucapan seperti ditujukan untuk seorang raja. Tono tersenyum melihat antusias putrinya yang terus bertambah. Ia dan Miranda sangat mengharapkan agar anak gadisnya itu dapat hidup lebih lama, dengan kedua netra yang dapat melihat keindahan dunia.

Dua puluh menit kemudian, Ica pun sampai di depan gerbang sekolahnya. Kini, gantian Miranda yang mengantarnya menuju depan kelas—memastikan putrinya sampai dengan selamat dan tidak salah kelas. Sesampainya di depan kelas Ica, Miranda merasa heran. Satu hal yang terlintas di pikirannya.

Ke mana Dik Refan?

Ica lalu mengambil lengan Miranda dan menyium punggung tangannya. Memeluk Maminya erat sebelum berpisah dengannya. Seorang perempuan lain datang dari dalam kelas, menyapa Ica dengan riang dan turut menyalami Miranda santun. Menuntun Ica dengan pelan dan diselingi candaan ringan, membuat Miranda merasa sedikit lega melepas putrinya pergi.

*****

Bel istirahat berbunyi dengan lantang. Yuka mengajak Ica menuju kantin untuk mengisi perut mereka dengan camilan yang ada di sana. Ica mengangguk setuju, lalu Yuka kembali menuntunnya menuju kantin.

"Yuka, Yuka. Kok Ica gak dengar suara Fira, sih? Fira memangnya ke mana?" tanya Ica di tengah-tengah perjalanan. Yuka terkesiap, mengetahui taraf kepekaan Ica.

"Eh, iya. Yuka lupa bilang. Semalam, Mama Fira chat Yuka. Dia bilang izin gak sekolah karena Fira lagi demam," jelas Yuka menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Raut wajah Ica mendadak terkejut, ia menghentikan langkahnya. "Yuka serius?"

"Iya. Yuka enggak bohong. Itu kata Mama Fira semalam," balas Yuka membentuk tanda V dengan kedua jarinya, berusaha meyakinkan Ica kalau dirinya berkata benar. Ica semakin panik. "Haduh, kasihan Fira. Pulang sekolah nanti, kita jenguk Fira ya Yuka. Ajak yang lain juga."

Keduanya kembali melanjutkan perjalanan dan akhirnya sampai di kantin. Baru saja keduanya duduk, Yuka akhirnya tersadar sesuatu.

"Eh? Ajak yang lain? Aidan dan Kama maksud Ica?" tanya Yuka memutar kedua bola mata. Ica hanya menampilkan deretan gigi putihnya dan memejamkan kedua netranya. "Hehe, iya."

Yuka menepuk jidatnya. "Haduh, bakal ramai banget, deh."

Ica hanya terkekeh ringan dan teringat satu hal. "Oh iya, Ka. Semenjak Ica pergi minggu kemarin, Ica 'kan ketinggalan banyak materi, nanti Ica lihat catatan Yuka, ya!" ujarnya antusias. Yuka hanya mengangguk dan berujar oke sebagai balasan. Ia kemudian melenggang pergi membeli beberapa makanan dan minuman untuk dirinya dan sahabatnya, Ica.

Ica menunggu kehadiran Yuka sambil bersenandung ringan. Pikirannya melayang jauh ke tempat sunyi dengan alunan angin yang berhembus menyejukkan. Satu sosok lain muncul dipikirannya, membuatnya menoleh ke kanan dan kiri mencari Yuka—untuk menanyakan kondisinya. Tidak lama kemudian Yuka datang membawa berbagai cemilan dan dua Jus Mangga. Ica lalu meraih lengan Yuka dan membisikkan pertanyaan pada telinga Yuka.

"Yuka, Refan apa kabar? Ica kangen."

Desire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang