Part 39

46 9 0
                                    

Apakah hubungan di antara kita tidak benar-benar mendapat restu? 

—Ica

* * * * *

Seorang wanita tengah berjalan bolak-balik dengan segala perasaan campur aduk yang ada di benaknya. Baru saja tiga puluh menit yang lalu, ia menghubungi anak bungsunya untuk segera menyusul keluarganya di Rumah Sakit Mount Elizabeth—Singapura.

Dengan perasaan cemas karena panggilannya tidak kunjung diangkat oleh sang suami—yang berniat menyusul anaknya yang tengah berada di Indonesia, karena terjerat kasus tabrak lari, membuat Adira semakin pening. Keringat dingin turut mengucur membasahi keningnya.

Ujian apa lagi kah ini?! batin Adira kemudian mendudukkan dirinya pada deretan bangku ruang tunggu dekat ruang ICU. Air mata yang sedari tadi ia tahan pada ujung kelopak matanya, akhirnya mengalir juga. Menerobos segala pertahanan yang telah ia buat.

Pertama, sebagai seorang Ibu, tentu pikirannya tertuju pada anak sulungnya yang tengah berjuang menghadapi penyakit yang diderita dengan saran operasi dari para dokter. Untaian doa tidak luput dari mulut dan batinnya, menghantarkan segala astu-astu terbaik pada Yang Maha Kuasa.

Selain itu, pikirannya yang semula tertuju dan sepenuhnya terpaku pada Refan, mendadak terbagi karena ulah adiknya yang tengah terjerat kasus tabrak lari di negeri asalnya. Satu pikirnya, ceroboh. Bagaimana bisa Hoshi menjadi segegabah itu? Bagaimana bisa ia menjadi pelaku tabrak lari? Pasti ada alasan logis di balik kejadian ini. Sekarang, yang berada di pikirannya, bagaimana caranya ia dan Nathan membuat Hoshi keluar dari jeruji besi yang kini tengah mengurungnya?

Di lain sisi, sebagai seorang istri, Adira juga turut mengkhawatirkan suaminya yang tanpa perbekalan lebih—hanya sempat membawakannya roti dan air mineral dari supermarket yang ada—untuk dimakannya selama perjalanan. Nathan juga tidak membawa uang lebih untuk menebus kesalahan Hoshi di sana, yang berarti anak bungsunya tidak dapat dikeluarkan dalam jangka waktu dekat.

Kepalanya kini ia sandarkan pada dinding putih dengan segala kepasrahan yang ia serahkan pada Yang Maha Kuasa. Dirinya mengaku sudah sangat lelah, menghadapi dua ujian hidup sekaligus seperti saat ini. Tangisnya turut pecah dalam diam. Membuat kelopak mata itu kian memerah dan bengkak.

Di saat-saat pening seperti itu, tas yang Adira bawa bergetar, disusul suara nada dering ponsel. Ia kemudian menghapus air mata yang sempat mengalir indah itu, berharap mendapat kepastian dari Nathan yang mungkin saja sudah sampai dengan selamat. Dibukanya tas yang ia bawa. Begitu terbuka, hatinya mencelos kecewa, karena nada dering itu tidak datang dari ponsel miliknya—melainkan milik Refan.

Adira menyipitkan matanya membaca penelepon yang tertera pada layar ponsel itu. "I-Ica?" Cukup terkejut, karena nama penelepon yang tertera bertuliskan Ica dengan emot cinta berwarna merah. Seketika dalam sesegukkan kecilnya, membuat lengkungan manis terpatri samar.

Tanpa berlama-lama, Adira kemudian mengangkat panggilan yang dikhawatirkan penting itu.

"Halo? Ada apa Nak Ica?" sapa Adira berusaha menormalkan suaranya dari sesegukkan tangis.

"Eh, iya. Ha-halo juga, Tante."

"T-tante, apa ada Refan di sana? I-Ica ingin ajak bicara sebentar."

Adira hanya terdiam mendengar permintaan lawan bicaranya. Tidakkah ia tahu? Bahwa Refan tengah terbaring lemah dengan alat-alat medis, di bawah naungan para dokter dan suster yang berada di ruang operasi. Senyum kecutnya kemudian tercetak samar. Membalas pertanyaan dari seberang dengan ketus.

"Maaf, gak bisa. Anak saya sedang—"

Tut ....

Panggilan terputus? Jaringan kah? batin Adira lalu kembali menyenderkan tubuhnya pada dinding yang ada di belakangnya, memijat keningnya pelan.

* * * * *

Tangan mungil gadis tuna netra yang tengah memegang ponselnya tergerak turun ke bawah. Tatapannya kosong, pikirannya melayang jauh entah ke mana. Yang tengah berada di pikirannya, adalah perkataan Tante Adira—selaku mamanya Refan yang terpotong cukup menggantung.

Fira mengerutkan keningnya, turut penasaran dengan hasil perbincangan sahabatnya dengan mama Refan. "Kenapa, Ca? Panggilannya di akhiri?"

Ica hanya menggelengkan kepalanya lemah. "Ica gak tahu. Mama Refan bilang, Ica gak bisa bicara sama Refan, dan Ica gak tahu alasannya apa karena panggilan tiba-tiba terputus."

Fira menuntun sahabatnya menuju kasur miliknya untuk sekadar duduk dan mengelus punggung Ica memberi sugesti positif, agar tetap tenang dan tidak berpikiran yang tidak-tidak. Perlahan, buliran bening yang semula kering itu, kembali membasahi wajah cantiknya.

Tangan Fira terhenti dari aktivitasnya. Sebuah tangan lain tergerak mengambil suatu benda di atas ambalang kayu yang terdapat di sisi kirinya. Jemarinya sibuk mengetik nama lain yang akan ia kirimi pesan.

Terkirim! batin Fira lega.

"I-Ica jangan sedih lagi, ya! Mungkin aja, ada satu alasan di balik larangan mama Refan tadi," ujar Fira kembali berusaha menenangkan Ica yang terus sesegukkan.

"Ica tahu, kok. Alasan mama Refan apa." Ica mengusap air matanya sejenak. Fira mengangkat kedua alisnya heran.

"Loh, Ica tahu? Katanya, tadi enggak tahu," tanya Fira dengan kebingungan. Taraf kepekaannya tidak sampai sana, sehingga tidak mengerti maksud perkataan Ica barusan.

"Yang jelas, pasti alasan mama Refan adalah ...."
Ica menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan perkataannya. ".... karena mama Refan tidak menyetujui hubungan Ica dengan Refan."

Fira refleks menutup mulutnya berbarengan dengan rasa terkejut yang muncul. Seingatnya, mama Refan itu tidak sejahat yang Ica pikirkan. Sosoknya baik, bahkan sangat baik karena saat itu, Fira tidak sengaja memecahkan satu gelas kaca milik keluarga Refan—dan mamanya hanya tersenyum lalu memaafkannya begitu Fira meminta maaf. Karena merasa tidak enak, keesokan harinya, Fira mengganti gelas yang pecah itu dengan gelas kaca yang baru. Ah, benar-benar baik, bukan?

Ica kemudian menoleh ke arah Fira yang hanya terdiam mendengar perkataannya. "Iya, 'kan Fira? Ica benar, 'kan?"

"Enggak! Itu gak benar, Ca. Mama Refan itu orangnya baik dan ramah. Dia gak mungkin seperti itu. Ica pasti salah paham!" tegas Fira sedikit naik pitam. Melihat sahabatnya yang selalu pesimis seperti itu, membuat Fira lama-lama menjadi sebal. Tidak bisa kah Ica berpikir sedikit jernih untuk saat ini?

Ica yang mendengar balasan sahabat di sampingnya turut naik pitam. "Tapi, kenapa Fira sempat terdiam begitu Ica mengutarakan pendapat Ica, hm? Pendapat Ica benar, 'kan? Tapi Fira gak mau mengakuinya karena kasihan sama Ica."

"Eng-enggak gitu, Ca. Kamu salah paham, Fira yakin itu bukanlah alasan mama Refan melarang Ica berbicara dengan Refan," jelas Fira seadanya. Sejujurnya, Fira juga tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan keluarga Refan saat ini, dan apa alasan mama Refan melarang keinginan Ica tadi. Sehingga, Fira hanya dapat membantu menenangkan dan menyugesti Ica sebisanya.

Dan, oh! Apa kabar dengan pesannya yang ia kirim kepada Yuka tadi? Bertepatan dengan pikiran yang terlintas itu, ponsel yang berada di tangan Fira bergetar pelan.

Pesan masuk! Pasti balasan dari Yuka! batin Fira merasa lega.

Yuka
Oke, gue akan segera ke sana.

Desire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang