Seorang gadis terbaring lemah di atas brankar, sekujur tubuhnya bersimbah darah akibat kecelakaan tadi. Siapa pun yang melihat kondisi gadis itu akan bergedik ngeri, memilih untuk tidak bersitatap dan lekas meminggir.
Lampu ruang operasi menyala, menandakan bahwa eksekusi korban tabrak lari itu sedang ditangani para ahli kesehatan. Tak jauh dari sana, Kama berdiri dengan cemas.
Untuk urusan Hoshi, laki-laki itu menyerahkan sepenuhnya pada pihak berwajib. Meskipun pelaku adalah adik dari sahabatnya, Kama tetap akan membawa ke ranah hukum.
Suara langkah kaki masuk dalam pendengaran laki-laki yang terduduk lemas itu, ia menoleh cepat dan bersyukur melihat kedua orang tuanya datang.
"Kama, kenapa ini bisa terjadi?" cecar Dita.
"Tabrak lari, Ma. Maaf, Kama gak becus jaga Kalila," sesal Kama. Kepala laki-laki itu tertunduk lemah, ia merasakan penyesalan yang teramat dalam.
Jika saja tadi ia mencegah Kalila untuk menyebrang, jika saja tadi ia yang bergerak untuk membelikan makanan yang diinginkan adiknya, jika saja ... ah, semua hanya tinggal pengandaian semata.
Nyatanya semua telah terjadi, adiknya tertabrak dengan kondisi yang jauh dari kata baik-baik saja. Rasa benci mulai tumbuh pada diri laki-laki itu, pada dirinya sendiri dan pada pelaku.
Pintu ruang operasi terbuka, tapi lampu di atasnya masih menunjukkan bahwa operasi masih berlangsung. Seorang suster yang berpakaian khusus keluar, lalu berkata, "Pasien kekurangan darah, dan stok darah di rumah sakit sedang kosong saat ini."
"Apa golongan darah adik saya, Sus?" tanya Kama cepat.
"A rhesus positif."
Tubuh Dita langsung limbung seketika, beruntung Yasa berdiri di belakang istrinya. "Tenang, Ma. Kita pasti bisa carinya!" ujar Yasa.
Kama juga ikut terdiam kaku, di antara mereka tidak ada yang memiliki golongan darah yang sama dengan Kalila. "Saya akan segera mencarinya, Sus," ucap Kama.
Laki-laki itu mengambil ponselnya yang sedari tadi terabaikan, ia mengetik pesan untuk teman-temannya di grup yang dimiliki dan story media sosial.
"Saya permisi." Suster itu kembali masuk ke dalam, melanjutkan tugasnya di ruang operasi.
"Gak ada cara lain, Pa! Kita gak bisa nunggu lebih lama lagi," desak Dita. Entah apa yang diucapkan wanita itu pada suaminya, yang jelas Kama tidak mengerti sama sekali arah pembicaraan mereka.
"Kita harus cari dia ke mana, Ma?" tanya Yasa, laki-laki itu masih bisa mengendalikan diri.
"Dia? Dia siapa?" tanya Kama penasaran.
"Kembaran Kalila, kamu harus cari dia! Kemungkinan besar dia punya golongan darah yang sama dengan adik kamu," jawab Dita cepat.
Pikiran Kama mulai tertuju pada satu orang, buru-buru ia meraih kunci mobilnya. "Kama akan jemput dia, Ma. Mama tenang aja! Kama pastikan dia ikut ke sini dan mau donorin darahnya," ucap laki-laki itu sambil berlalu dari sana.
Dengan langkah lebarnya, Kama berjalan cepat ke parkiran. Di pikirannya tersusun bagaimana kata-kata manis untuk membujuk kembaran Kalila, jujur saja jika Kama saat ini sedang merasa bimbang luar biasa.
°▪°▪°▪°▪°
"Maaf, Ma. Hoshi gak bisa ke sana sekarang," ujar Hoshi melalui sambungan telepon.
Dada laki-laki itu terasa sesak, air mata tak henti keluar dari tempatnya. Perkataan Yuka kembali terngiang, dan laki-laki itu membenarkan semuanya.
Ya, dia egois. Semua ini tidak mungkin terjadi jika saja dirinya bisa mengikhlaskan Ica untuk Refan, segala kejadiaan hari ini disebabkan olehnya.
"Kenapa? Hoshi, kamu kenapa?" tanya Adira panik.
Bibir Hoshi mendadak kelu, berat rasanya untuk mengungkapkan kebenaran yang beberapa menit lalu terjadi. Belum lagi dengan kondisi Refan yang memburuk, pasti orang tuanya menjadi lebih panik.
"Hoshi ... ada di kantor polisi, Ma," jawab Hoshi lemah.
Hening, tidak ada sahutan apa pun dari seberang. Hoshi mulai memberi semangat pada dirinya sendiri, menekan segala ego yang kembali ingin muncul.
Keadaan Refan lebih darurat dari pada dirinya, kakaknya itu menjadi utama untuk saat ini. Hoshi ikhlas apabila kedua orang tuanya tidak datang, tak apa jika ia harus mendekam di penjara. Toh, ini memang salahnya.
Laki-laki itu berjalan lemah diikuti polisi di belakangnya, ia dimasukkan jeruji yang belum ada siapa pun di sana. Sengaja Hoshi memojokkan diri di sudut ruangan, kepalanya ia benamkan di antara kedua kaki yang dipeluknya.
Jika saja waktu bisa diputar ulang, ia tidak mau melakukan tindakan bodoh ini. Setidaknya bertanggung jawab atas tabrakan itu, sehingga masalah tidak menjadi serumit sekarang.
Apa yang bisa dilakukan selain menyesal dan meratapi nasib? Untuk minta maaf sekali pun Hoshi tidak yakin Kama akan membukakan pintu maaf baginya, kecelakaan itu memang perbuatan terburuk Hoshi selama ini.
"Saudara Hoshi Samuel, ada yang menjenguk." Seorang polisi membukakan pintu untuk Hoshi, menggiring laki-laki itu ke ruang tunggu.
Selama menuju ke sana, kepala Hoshi terus tertunduk. Ia malu pada siapa pun yang datang, apalagi pada kedua orang tuanya. Seumur hidup laki-laki itu selalu diajarkan untuk tanggung jawab dan sopan santun, tapi hari ini ia melanggar salah satunya.
"Hoshi!" Suara berat yang sangat diakrab dengan Hoshi memasuki gendang telinganya, jelas sekali itu suara Nathan.
"Papa," cicit Hoshi.
Nathan bergerak memeluk anaknya meski terkesan kaku, ayah dua anak itu memang jarang berinteraksi secara intens. "Tidak apa-apa, Papa akan mengurus dan mengeluarkan kamu secepatnya dari sini," ujar Nathan.
"Bisa kamu ceritakan kejadiannya?"
Kepala Hoshi mengangguk lemah, wajahnya yang pucat pasi membuat Nathan mengelus pundak anak bungsunya. "Tadi selepas Hoshi keluar sebentar, Hoshi mau ke taman kompleks yang di perempatan. Pikiran Hoshi kacau, Pa. Jadi, Hoshi gak fokus saat nyetir mobil. Semua berlalu dengan cepat, sampai Hoshi sendiri gak bisa ngingatnya."
"Setalah tahu ada orang yang tertabrak, Hoshi gak bisa berpikir apa-apa lagi. Yang Hoshi inginkan cuma dapat menenangi diri, tapi kejadian itu semakin buat Hoshi tertekan," jelas laki-laki itu.
Nathan hanya diam, ia mendengarkan secara saksama apa yang keluar dari mulut anaknya. "Bagaimana kamu bisa sampai di sini?" tanya Nathan setelah Hoshi tak kunjung membuka suaranya untuk kembali bercerita.
"Saat mama telepon, itu Hoshi masih di taman. Sewaktu perjalanan rumah sakit, jalan yang tadi Hoshi lewati itu ramai banget. Karena penasaran, Hoshi turun dan lihat ada apa di sana. Ternyata ... ada korban tabrak lari dan pelakunya adalah Hoshi sendiri."
"Pa, keluarga korban adalah sahabat Refan. Hoshi cuma berharap ini bisa dilalui dengan jalan damai, tapi kalau memang Hoshi harus tinggal di sini dalam waktu yang cukup panjang ... gak apa-apa, kok."
"Akan Papa usahakan buat kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Desire [END]
Teen FictionManusia tidak ada yang sempurna, semua pasti memiliki kemampuan yang seimbang dengan kekurangannya. Tidak ada yang berlebih, hanya saja kita yang melebih-lebihkan. Kesuksesan bukan hanya untuk orang yang terlahir sempurna, selama ada tekad dan usaha...