Part 9

122 14 0
                                    

Ica mengerjapkan kedua netranya perlahan. Ia meraba sekitar, kemudian menyadari ada yang janggal.

Ini bukan di kamar, batin Ica.

Lantas jika bukan di kamar, ini di mana? Ica merasa sangat bingung, frustrasi. Ia mencoba memutar ulang ingatan, berharap ia menemukan jawaban dari sisa-sisa ingatannya.

Tiba-tiba pintu ruangan tersebut  terbuka, menampakkan dua sosok dengan raut wajah penuh kekhawatiran. "Ica!"

Ica mengenali suara itu. Ica yakin itu adalah suara Mami dan Papinya. "Mami! Papi!"

Miranda dan Tono pun memeluk putri semata wayangnya dengan penuh kasih sayang. Mereka sangat khawatir begitu mendengar kabar bahwa anaknya sedikit terluka akibat kecelakaan yang terjadi kemarin. Oleh karena itu, Miranda dan Tono memutuskan pergi menemui Ica yang kini berada di Rumah Sakit, melakukan pengobatan sekaligus perawatan.

"Kamu enggak apa-apa, kan, Ca? Udah mendingan?" tanya Miranda dengan tangan yang masih mengelus puncak kepala Ica.

"Ica baik-baik aja kok, Mi."

"Kami takut kamu kenapa-napa, Ca. Syukur kalau begitu," ujar Tono.

"Coba, Mami mau lihat luka kamu." Miranda membantu Ica membuka gulungan celananya hingga di atas lutut. Lebam berwarna biru kemerah-merahan memenuhi sebagian lutut Ica.

"Kamu beneran enggak kenapa-napa? Masih berasa sakit, nggak?" Miranda terus menanyakan kondisi anaknya begitu melihat luka lebam pada lutut Ica.

"Gak apa-apa kok, Mi. Udah enggak sakit," bohong Ica.

Miranda tahu anaknya tengah berbohong. Ia bisa melihat ada yang Ica tutupi dari wajahnya. Akhirnya Miranda mencoba menekan luka yang ada pada lutut Ica dengan pelan. "Aw! Sakit..."

"Tuh, kan ... kamu bohong sama Mami!" Miranda menggelengkan kepala. "Kalau masih sakit, bilang aja, Ca!"

"Mi, aku mau ke luar dulu, mau beli minum." Miranda mengangguk, lalu Tono pun pergi meninggalkan mereka berdua.

"Mami, kemarin yang selamatin Ica siapa?" tanya Ica.

"Mami enggak tahu, Ca," ujar Miranda. Ica mengerucutkan bibirnya kala jawaban sang Mami tidak memenuhi rasa ingin tahunya. "Mami dan Papi hanya dapat info, kalau kamu abis kecelakaan."

"Oh."

"Ya udah, nanti Mami tanya guru atau teman-teman dekatmu, barangkali ada yang tahu." Miranda mengambil kursi dan mendudukinya. "Sekarang kamu istirahat dulu, ya!"

"Iya, Mi."

* * * * *

Di lain sisi, kini seorang remaja laki-laki tengah terbaring lemah. Terdapat lilitan kain putih di kepalanya. Tali infusan juga kian menghantarkan obat sekaligus makanan untuk tubuhnya.

Di sampingnya, terdapat satu remaja laki-laki lain, yang senantiasa menunggu kakaknya bangun. "Bangun, Kak!"

Pintu ruangan itu terbuka keras. Begitu menoleh, Hoshi mendapati dua temannya–Kama dan Aidan-menghampiri dirinya dan sosok yang tengah terbaring lemah.

"Kalau buka pintu, pelan-pelan, dong!" tegur Hoshi kesal karena merasa terkejut. "Kalo kakak gue jantungan, gimana?"

"Eh, iya, maaf deh. Gue enggak sengaja tadi." Aidan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Terlalu bersemangat, hehe."

Hoshi hanya menghembuskan nafas berat, lalu kembali menatap sosok kakaknya–Refano Samuel-. Aidan turut sedih atas kecelakaan yang terjadi kemarin, begitu pula dengan Kama. Kama menyikut Aidan kala ia melupakan sesuatu.

Desire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang