Part 24

4.5K 591 59
                                    

Happy reading..


---

Jam hampir menunjukan pukul sebelas saat Bian baru saja sampai di halaman rumahnya. Ia berpamitan pada Mang Udin yang tadi membukakan pintu gerbang, untuk masuk ke dalam rumah lebih dulu setelah mengamankan mobilnya.

Memasuki rumah, ada sedikit rasa kecewa saat Bian mendapati ruang tengah telah kosong. Tak ada Rafa yang biasanya menonton televisi, mungkin anak itu telah tidur. Bosan karena menunggunya yang tak kunjung pulang. Ia tadi membalas pesan Rafa dan mengatakan akan segera pulang, tapi sayangnya Dokter Tian mengajaknya mengobrol selepas visit. Akan tak enak jika ia menolaknya, jadilah ia bersedia menemani Dokter Tian mengobrol. Dan berakhir ia yang pulang di jam larut seperti ini.

Dengan langkah pasti, ia beranjak menuju kamar. Berniat membersihkan diri dulu agar lebih segar sebelum tidur. Namun baru juga menginjak anak tangga pertama, suara teriakan terdengar mengganggu telinganya. Ia menoleh, menatap pintu kamar Rafa yang ia yakini berasal dari sana.

Bian baralih menuju kamar itu, menaruh asal tas kerjanya di atas meja yang ada di dekat tangga. Ia mempercepat langkahnya saat dirasa teriakan itu semakin keras, disusul dengan bunyi benda berjatuhan.

"Ini anak kenap- yaampun Rafa?! Heh! Lo apain kamar lo, bocah?! Lo ngapain juga berdiri disitu, yaampun.. Turun nggak?!" Bian kaget mendapati keadaan kamar Rafa yang kini tampak berantakan sesaat setelah ia membuka pintu. Selimut serta bantal tak lagi di atas kasur, bahkan kasur itu pun sprei-nya entah kemana. Sedangkan anak itu sendiri kini berdiri di atas sofa dengan tongkat baseball yang entah dari mana anak itu dapatkan. Seingatnya, ia tak pernah menaruh tongkat baseball di kamar itu. Bahkan sebelum kamar itu menjadi kamar Rafa dulu.

"WHAAA.. BIAAN ADA SERANGGA! ITU TERBANG-TERBANG! AAAHH.."

Bian melongo, hanya karena serangga Rafa bisa seheboh ini?! Ia beralih menatap sekeliling kamar. Kacau, dan Rafa malah menambahnya dengan membuat keributan malam-malam begini di jam sebelas malam.

Lalu netranya mengangkap seekor kecoa yang menempel di tembok dekat ranjang.

"WHAAA.. BIAAN.. ITU NEMPEL DI TEMBOK!"

"Shuut.. Diem deh, gue juga tau."

Bian mendekati ranjang dan naik ke atasnya untuk menangkap kecoa itu. Namun ternyata si serangga itu lebih dulu terbang mendekati Rafa yang masih berdiri diatas sofa.

"WHAAA PAPAAA ADA SERANGGAA.. AAAKHH.. SERANGGA MAAPIN GUE! MAAP MAAP! KYAAA.." Rafa melompat mendekati Bian dan memeluknya erat, ia juga membuang asal tongkat baseball yang sedari tadi ia peluk itu.

"Whaaa.. Papa, serangga.."

Bian terdiam saat Rafa memeluknya begitu erat. Badan anak itu juga sedikit gemetar, jelas sekali kalau Rafa benar-benar ketakutan. Ia mengusap punggung Rafa untuk menenangkan anak itu.

"Sstt.. Nggak papa Raf, nggak papa."

"Nggak mau tidur, pokoknya! Mending di ruang tivi aja gue mah! Ayo keluar, gue nggak mau disini."

Bian hanya pasrah saat Rafa menarik tangannya menuju ruang tengah. Lalu genggaman anak itu terlepas saat mendudukkan diri di sofa dengan memeluk lutut. Masih dengan muka kesalnya, Rafa masih mengoceh mengumpati serangga tadi.

"Udah diem kenapa sih. Udah nggak keliatan juga," ucap Bian yang duduk di samping anak itu.

"Tapi masih di kamar! Aish! Gue tidur disini aja udah, nggak mau ke kamar!" ucap Rafa dengan menggebu.

"Tidur di kamar gue, ya kali gue biarin lo tidur disini."

"Biarin, yang jelas gue nggak mau lagi diapelin serangga gitu, apalagi nyampe dikelonin. Amit-amit!"

"Ya udah, gih tidur. Katanya mau tidur disini."

"Iya, ini gue mau tidur, lo jangan berisik. Balik ke kamar aja deh lo, bebersih. Badan lo bau, sana jauh-jauh."

"Halah, tadi aja meluk kenceng banget."

"Yaa, itu kan reflek. Mana sempet gue mikirin itu."

"Dih, alesan."

"Udah ah, diem aja. Gue mau tidur, dah."

Bian tersenyum saat Rafa mulai memejam dengan badan yang meringkuk dengan menyandar ke sandaran sofa menghadap ke arahnya. Ia melirik jam dinding, sebentar lagi jam setengah dua belas. Ia ikut menyandar di sebelah Rafa. Lalu meraih selimut untuk menutupi badan Rafa.

Lupakan soal bersih-bersih, Bian mendadak malas untuk melakukan hal itu. Ia lebih tertarik untuk ikut menyandarkan diri di samping Rafa.

"Aahh.. Nikmat banget cuman nyender gini doang, apalagi kalo tidur? Haahh.." ujarnya.

Bian berbalik, menyandar dengan menghadap Rafa di depannya. Anak itu sepertinya sudah pulas, sama sekali tak terusik karena pergerakan Bian yang tengah menyamankan diri itu.

"Anteng banget kalo tidur, coba kalo nggak tidur juga anteng. Etapi, bakal aneh kalo Rafa nggak petakilan. Yaudah, gini aja terus ya Raf.."

Bian mengangkat tangannya, berniat mengusak rambut hitam itu. Namun, ia urungkan saat kepala anak itu malah jatuh ke pundaknya. Rafa tampak tak terganggu, malah menyamankan diri dipundak Bian.

"Ealah bocah.." Bian tersenyum.

Bian menyelipkan tangannya di antara tengkuk Rafa dan mempererat rangkulannya di bahu anak itu. Bian juga membenahi selimut anak itu yang merosot. Mungkin ia akan bertahan di posisi ini dulu untuk sementara, kebetulan ia juga sudah mengantuk. Tak buruk juga kalaupun ia sampai ketiduran hingga pagi, posisi ini terasa nyaman juga.

---

Sampai pagi menjelang, Bian membuka matanya. Ia menatap sekeliling dengan kening mengerut, masih menyesuaikan penglihatannya. Ia masih di ruang tengah, dengan Rafa yang masih terlelap di dekapannya. Namun bedanya, ada selimut tebal yang kini menutupi keduanya. Kening Bian mengerut lagi, ah mungkin Mang Udin yang menyelimuti mereka tadi malam. Karena biasanya, setiap malam Mang Udin akan mengecek ke dalam rumah terlebih dahulu, sekalian membuat kopi jika akan begadang.

Bian melirik jam dinding, pukul dua dini hari. Bian beranjak, berniat untuk membawa Rafa ke kamarnya. Ia tak mungkin memindahkan Rafa ke kamar anak itu, bisa-bisa malah ribut lagi nanti.

Bian mengangkat Rafa dan membawanya ke atas, lalu merebahkannya di kasur miliknya sekaligus meyelimuti anak itu, membuat Rafa sempat terusik karna Bian tak sengaja menyenggol lengannya. Tapi akhirnya kembali terlelap setelah menemukan posisi nyaman dengan memeluk guling Bian.

Setelahnya, Bian memutuskan untuk mandi. Tak apalah sekali-kali mandi di jam dua dini hari seperti sekarang ini.

Sampai saat adzan subuh berkumandang, Bian membangunkan Rafa untuk sholat subuh. Inginnya sih pergi ke masjid yang lumayan dekat dari rumah, tapi hujan sedang turun lumayan deras sedari adzan tadi. Jadilah, mereka bertiga dengan Mang Udin akhirnya sholat berjamaah di rumah.

Selesai sholat, Mang Udin berpamitan untuk keluar lagi. Dan menyisakan Bian dan Rafa yang kini enggan beranjak dari kasur Bian selepas sholat tadi. Rafa duduk anteng dengan balutan selimut tebal, menunggu kartun kesayangannya itu mulai. Bian diam saja saat kamarnya kini dikuasai oleh anak itu. Tak apalah, yang penting anak itu tak melakukan hal-hal aneh yang merugikan dirinya.

"Rafa beneran nggak mau turun, nih?" tawar Bian untuk kedua kalinya, setelah tawaran pertamanya tadi ditolak oleh Rafa.

"Enggak, enak disini. Hangat," balas Rafa tanpa menoleh.

"Yaudah, gue mau masak. Duduk anteng aja gitu, okeh?"

Rafa mengangkat jempolnya untuk membalas ucapan Bian.

Sementara itu, Bian segera turun untuk membuat sarapan. Nasi goreng dan juga orak-arik telur khusus untuk Rafa. Sekarang ia harus pandai-pandai mengatur menu makan Rafa agar anak itu tak bosan dan berakhir memberontak melanggar pantangannya.

---

Sampai jumpa di part selanjutnya..
Makasih udah baca ya..♡

Purbalingga, 11 Januari 2021
Re: 13 Februari 2022
Zaky_mai 💕

Just Here ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang