Part 8

6.2K 656 41
                                    

Happy reading..

---

Pada akhirnya, Bian benar-benar meninggalkan Rafa dan menitipkannya pada Bayu. Bian pergi setelah menyerahkan map berisi data diri Rafa, yang sebelumnya Bian kumpulkan dengan mendatangi sekolah lama Rafa.
Yah, Bian memutuskan untuk serius menjadi wali dari Rafa. Setidaknya untuk sementara ini.

Bayu membawa Rafa ke ruang guru terlebih dahulu, untuk mengurus segala keperluan sekolahnya. Setelahnya, Bayu membawa Rafa untuk berkeliling mengitari sekolah sebagai bentuk pengenalan. Kata Bayu, mungkin besok atau lusa Rafa sudah bisa mulai bersekolah.

Bayu sedikit menjelaskan beberapa ruangan yang mereka lewati. Juga ruang kelas yang nantinya akan menjadi kelas Rafa. Mengenai anak itu, Bayu tadi hanya mengangguk saat Bian memperkenalkan Rafa padanya. Ia telah mendengar cerita singkat tentang anak itu, tadi. Sebagai teman, ia hanya bisa mendukung apapun keputusan Bian, selama itu masih di jalur yang benar, tentunya.

Sampai di depan UKS, Rafa menghentikan langkahnya. Juga menahan tangan Bayu yang hendak melangkah lagi.

"Kenapa, Rafa?" tanya Bayu.

"Capek, pak. Istirahat di UKS dulu, yaa?" pinta Rafa.

"Kamu lagi sakit, apa gimana?" tanya Bayu bingung, ia mendapati mata Rafa yang terlihat sayu saat menatapnya.

"Enggak, nggak papa. Saya udah nggak kuat jalan, pak. Ngaso dulu, ayo." Rafa mulai menarik tangan Bayu. Sedikit tak sabar, karena rasanya ia bisa saja ambruk detik itu juga. Entah kenapa, tiba-tiba saja ia merasa lemas.

"Eh, ya udah iya. Ayo masuk, kamu baringan dulu aja. Mau saya panggilkan dokter? Atau saya telpon Bian aja, ya?" ujar Bayu mendadak panik.

"Enggak usah, pak. Jangan telpon Bian. Saya mau tiduran aja, bentar. Pak guru situ aja, ya. Temenin saya, jangan di tinggal."

"Eh?"

Rafa tak menanggapi lagi, ia lebih memilih untuk memejamkan kedua matanya. Bahkan tanpa melepas maskernya. Masker itu sama sekali belum terlepas dari awal ia memakainya.

Sementara Bayu, lelaki itu menatap Rafa dalam diam. Ingin menghubungi Bian, tapi tak diperbolehkan oleh anak itu. Jadi, ia hanya cukup menunggu untuk sekarang.

Sampai lebih dari lima belas menit kemudian, Bayu menatap gelisah anak di depannya itu. Rafa sama sekali belum membuka matanya.

"Rafa ... Hey, ayo bangun. Kamu itu tidur apa pingsan? Jangan bikin saya parno dong," ucap Bayu, mencoba membangunkan Rafa lagi.

"Rafa. Saya telpon Bian aja, ya, kalo gitu. Saya panik, ini." Sebenarnya Bayu sadar, Rafa tak akan meresponnya, tapi namanya saja spontanitas.

Akhirnya, Bayu memilih tetap menghubungi Bian. Tak peduli pada Rafa yang mungkin nanti akan marah, yang terpenting ia harus tetap menghubungi Bian, selaku wali dari bocah itu.

Sampai akhirnya setelah hampir setengah jam kemudian, Bian datang dengan tergesa. Tentu saja ia panik, langsung saja ia tinggalkan jadwal visit yang seharusnya ia lakukan. Rafa tentu lebih penting sekarang.

"Rafa kenapa, Bay?" tanya Bian langsung.

"Nggak tau, Bi. Kita lagi keliling, terus pas nyampe UKS, dia minta istirahat dulu. Ya udah gue tungguin kan, nyampe hampir setengah jam dia nggak bangun-bangun. Gue parno dong, dia tidur apa pingsan?!" jelas Bayu yang mendadak emosi di akhir kalimatnya.

"Iya udah, nggak usah ngegas juga," balas Bian seraya menduduki kursi di samping ranjang.

"Lo udah kasih dia makan, kan?"

"Udah, lah. Nggak mungkin enggak, dia ada sakit maag."

"Gue liat mata dia sayu banget, tadi. Padahal nggak ada satu jam kita keliling, tapi kaya yang kecapean banget, dianya. Keliatan lemes banget sebelum tidur tadi, juga."

"Enggak tau juga, gue. Akhir-akhir ini, porsi makan dia dikit banget. Mungkin karena itu juga, dia jadi lemes gitu. Gue emang mau periksa dia lagi sih, nanti."

"Bagus, deh. Terus, ini lo mau gimana?"

"Bawa balik, lah. Tapi nanti, sekarang biarin dia gitu dulu."

"Heh! Emang itu merem gitu nggak papa? Lo nggak ada panik atau apa gitu??"

"Ya biasa aja. Gue udah biasa, kalo lo lupa."

Bayu menepuk jidatnya sendiri, "gue lupa kalo lo dokter, masa. Tapi, jadi lo itu rada ngeselin ya. Pasien tepar gini, lo biarin."

"Ck! Bukan dibiarin, Bay. Lo mana ngerti, sih. Udah, diem aja lo. Lo kalo mau balik, nggak papa kok. Gih, sono pergi."

"Mau gue sangkal, tapi nada lo ngusir gitu. Ya udah, gue balik dulu. Kalo ada perlu lagi, hubungin gue ya."

"Sip, lah. Makasih ya, udah nemenin Rafa."

"Iya, santai aja."

Bian menatap kepergian Bayu dengan senyum. Bayu itu meskipun absurd dan agak menyebalkan, tapi pada dasarnya dia itu baik. Sudah berulang kali cowok itu membantunya. Ah, Bian jadi merasa beruntung memiliki sahabat seperti Bayu.

Tak lama kemudian, Rafa terbangun. Bian mendekat, barangkali anak itu membutuhkan sesuatu.

"Udah bangun?" tanya Bian memastikan.

"Udah. Gue capek banget, masa Bi. Ayo pulang," lirih Rafa yang terdengar lemas.

"Iya, ayo balik. Lo kuat jalan, nggak?"

"Dikuat-kuatin aja. Ayo buruan, gue pengen rebahan di kasur." Rafa turun dari ranjang dengan tergesa.

"Iya, tapi sabar dong. Lo kebiasaan banget, sih."

Rafa tak menanggapi lagi, ia hanya ingin sampai di kamarnya dengan segera. Tak peduli pada Bian yang mengomelinya sepanjang koridor. Ia ingin berlari saja, rasanya. Tapi tak akan bisa, mengingat tangan Bian mengapit lengannya. Ah, Rafa lupa, padahal bisa saja ia ambruk saat Bian melepas pegangannya.

Sampai di mobil, Bian segera melajukan ke arah rumahnya. Lupakan sejenak masalah rumah sakit. Akan ia pikirkan lagi nanti, setelah mengurus Rafa di rumah.

"Bian," panggil Rafa lirih, seperti biasanya. Anak itu menunduk dengan kedua tangan memegang erat pada sabuk pengaman yang ia kenakan.

"Kenapa? Pusing?"

"Enggak, bukan. Gue mau minta maaf, gara-gara gue lo jadi ninggalin kerjaan lo," ucap Rafa yang tetap menundukkan kepalanya, tak berani menatap langsung kedua mata Bian.

Bian mengusak rambut kepala Rafa sebelum berucap, "nggak papa, Rafa. Kan sekarang prioritas gue itu lo."

Rafa terhenyak. Tak menyangka, akan ada orang sebaik Bian. Bian mau mengurusnya, merawatnya, bahkan mengurus segala kebutuhannya. Walaupun pada dasarnya, mereka itu tak saling mengenal.

"Thanks," gumam Rafa, yang sebenarnya masih Bian tangkap meski agak samar.

Bian diam-diam tersenyum, Rafa itu tak pandai mengekspresikan perasaannya. Kecuali itu perasaan sebal dan marah, maka akan dengan senang hati Rafa utarakan. Padahal menurut Bian, Rafa itu manis jika bersikap begitu. Tapi, biarlah.

Bian akhirnya menghentikan mobilnya sesaat setelah sampai di depan rumahnya. Ia melirik Rafa yang kini terlelap dengan tenang. Wajahnya masih terlihat pucat. Entah kenapa, padahal Bian sudah memastikan bahwa anak itu sudah sembuh, hanya tinggal pemulihannya saja. Tapi mengingat kejadian tadi, Bian jadi ragu kalau Rafa itu baik-baik saja.

Bian segera mengangkat Rafa, membawa anak itu ke kamarnya agar lebih nyaman beristirahat. Akan ia pastikan lagi kesehatan Rafa, nanti setelah anak itu bangun. Mungkin ia akan menanyakan beberapa hal, sebelum nantinya akan ia bawa anak itu ke rumah sakit jika perlu. Dan pasti perlu, menurutnya.

Bian memandang sejenak rupa Rafa, sebelum akhirnya ia pergi keluar. Ia akan menghubungi salah satu rekannya, rekan yang tadi langsung ia tinggal pergi. Mungkin setelahnya ia akan bersantai sejenak di ruang televisi. Menikmati libur dadakannya itu dengan tenang.

---

Purbalingga, 05 September 2020
Re : 4 Januari 2022
Zaky_mai 💕

Just Here ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang