Happy reading..
---
Malam semakin larut, udara juga semakin dingin. Tapi itu tak kunjung membuat Rafa terlelap. Ia masih memikirkan perkataan Bian dan penjelasannya tadi. Semuanya terlalu mengagetkan untuknya. Banyak yang ia pikirkan. Bagaimana ia menghadapi hari esok dan kedepannya. Bagaimana jika benar ia dijemput Papa dan pergi meninggalkan Bian. Bagaimana kalau ia tak bisa lagi bertemu dengan Bian. Beberapa pikiran buruk sangat mengusiknya sedari tadi. Membuatnya susah hanya untuk memejamkan mata dan terlelap. Apa yang harus ia lakukan?
"Ck! Gue nggak bisa tidur!"
Rafa bangkit lalu memilih duduk dengan bersandar di kepala ranjang.
"Gue harus gimana?! Gue, nggak siap. Gue udah terlanjur nyaman kayak gini. Aduh, Papa bukannya aku nggak seneng Papa pulang. Bukannya juga aku nggak seneng mau ketemu lagi sama Papa sama Opah. Tapi, aku udah ... Aah, nanti kalo aku pulang, ninggalin Bian sama Mang Udin, Pak Bayu, bang Vano juga. Nanti kalo nggak bisa ketemu lagi gimana?"
Rafa merengut, lalu tangannya mengusap air matanya yang tanpa ia sadari sudah menetes membasahi pipinya.
"Dulu buat adaptasi sama mereka nggak susah, Pa. Sampai akhirnya aku bisa akrab sama mereka semua. Mereka baik, aku diperlakukan dengan baik. Bian juga, baiik banget. Aku diurus kayak Papa ngurus aku. Tapi, kenapa sekarang belum pisah aja udah berat banget rasanya. Aku nggak mau pisah, Pa."
Air mata Rafa semakin deras, padahal sudah berulang kali juga Rafa usap dengan kedua tangannya. Tapi bukannya mereda, tangisnya malah semakin dalam.
"Papa, aku harus gimana? Kalo ikut Papa, aku harus ninggalin mereka. Tapi aku juga nggak mungkin kan nolak Papa terus milih tetep disini sama mereka. Itu nggak mungkin, nanti aku durhaka dong sama Papa."
Rafa beralih mengangkat selimutnya untuk menghapus air matanya yang tak kunjung mereda.
Sampai saat ia mulai tenang, ia akhirnya bangkit dari ranjangnya. Memilih keluar dari kamar, berniat menghampiri kamar Bian dan berharap ia bisa tenang.
Sesekali ia menggosok hidungnya yang terasa basah, akibat menangis tadi. Bahkan matanya juga belum sepenuhnya kering, jejak air mata juga masih membasahi pipinya. Ia lalu mengetuk pintu kamar Bian. Padahal ia sendiri merasa tak enak, takutnya Bian sudah tidur dan berakhir mengganggu waktu tidur Bian.
Tapi akhirnya Rafa sedikit tersentak saat pintu kamar langsung dibuka tak lama setelah ia mengetuk pintu. Lalu Bian muncul dengan piyama tidurnya. Menatap heran pada Rafa yang malam-malam begini bukannya tidur malah bertamu ke kamarnya.
"Kenapa Raf? Ini udah malem, lo butuh sesuatu?" tanya Bian dengan bingung.
"Gue nggak bisa tidur. Lo harus tanggung jawab, gara-gara lo gue nggak bisa tidur dong. Gue kepikiran terus."
Bian meringis, di depannya Rafa terlihat sangat menyedihkan. Ketara sekali habis menangis, dan sekarang anak itu kembali merengut seperti siap menangis lagi kapan saja.
"Lo, kenapa? Jangan nangis, udah malem. Ayo masuk, deh. Bayu udah tidur, nanti kalo lo nangis yang ada dia kebangun. Kalo udah bangun, pasti geger nyampe tetangga."
Bian akhirnya menggiring Rafa masuk ke dalam kamarnya. Sepertinya Rafa memang butuh ketenangan.
"Jadi, lo kenapa? Ini udah malem banget kalo lo lupa. Besok lo harus sekolah," tanya Bian lagi memastikan.
Kini mereka sudah duduk di ranjang Bian. Bian masih menunggu Rafa untuk bercerita.
"Yang tadi, lo nggak bohong? Jangan sampe gue udah nangis-nangis gini, tapi ternyata lo cuman bohongin gue, ya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Here ✔️
Fiksi UmumTerkadang, hangatnya kekeluargaan nggak mesti didapat dari keluarga kandung atau saudara yang sedarah.. Karena orang lain juga bisa menjadi orang paling dekat, bahkan menjadi keluarga..