Part 33

3.7K 528 82
                                    

Happy reading..

---

Esok harinya, Rafa terbangun saat jam baru menunjukkan pukul dua dini hari. Rafa bangkit, duduk menyandar pada kepala ranjang dan menatap sekitarnya dengan linglung. Ah, nyawanya belum terkumpul sepenuhnya.

Rafa lalu menyibak selimut dan turun dari ranjang. Dengan langkah yang lamban karena belum sepenuhnya sadar, ia beranjak menuju pintu kamar. Ia keluar dari kamar dan menuruni anak tangga dengan sangat pelan. Kini tujuannya adalah dapur, ia haus. Padahal saat terbangun tadi bukan itu tujuannya bangun dan turun menuju dapur, karena di kamar Bian juga sudah disediakan air minum. Tapi ya sudahlah.

Rafa kemudian duduk di pantry setelah menuang air ke dalam gelas. Meneliti isi dapur karena ia mendadak bingung hendak melakukan apa. Sampai saat kantuk menyerangnya lagi, ia ingin kembali ke kamar, tapi ia tak cukup kuat untuk kembali naik ke kamar Bian.

"Gue udah nggak beda jauh sama orang ngelindur," gumamnya pelan.

Ia meneguk lagi air dalam gelas, lalu merebahkan kepalanya di atas lipatan tangan yang ia buat di atas meja pantry. Beberapa kali ia menguap, bahkan matanya mulai terasa perih dan berair.

Sampai beberapa menit berlalu, Rafa tetap berada di posisi itu. Lalu ia menangkap suara dari arah tangga, tapi ia terlalu malas hanya untuk mengintip. Paling-paling itu Bian, pikirnya.

"Lo ngapain disini? Pantesan di kamar nggak ada."

Dugaannya benar, itu Bian dan kini orang itu mendudukkan diri di sampingnya.

Rafa mengangkat kepalanya, berusaha menatap Bian dengan mata setengah terbuka.

Bian menggeleng, bagaimana bisa anak itu sampai di dapur dengan mata setengah terbuka seperti itu, yang ia yakini juga pasti anak itu belum sepenuhnya bangun. Bian bersyukur dalam hati, untung anak itu tidak menggelinding di tangga.

Tadi ia terbangun karena ingin ke kamar mandi, lalu saat kembali ia baru sadar tak mendapati Rafa di atas ranjang. Jadi ia cari di lantai bawah. Dan ternyata benar, anak itu memang ada di dapur.

Sesekali tangan Rafa terangkat untuk mengucek kedua matanya yang terasa perih.

"Jangan dikucek," Bian menarik kembali kedua tangan Rafa.

"Gue ngantuk," balas Rafa yang malah terdengar seperti gumaman bagi Bian.

"Ck! Lo ngelindur apa gimana sih?! Ayo balik," Bian memegangi kedua pundak Rafa dan mengajak anak itu berdiri, meskipun dengan sesekali oleng.

"Nggak kuat, lemes. Pala gue pusing."

Bian tersentak saat Rafa malah berjongkok di depannya. Kedua tangan anak itu terangkat memijat pelipisnya.

"Eh, eh.."

"Gendong, A."

Rafa mendongak seraya menatap Bian dengan muka melasnya. Membuat Bian menghela nafasnya, Rafa itu ada-ada saja. Terlepas dari anak itu berpura-pura atau memang betulan pusing. Rasanya, Bian juga tak tega membiarkan anak itu berjalan dengan sempoyongan menahan kantuk untuk menaiki tangga. Takutnya, bukannya sampai Rafa malah terjatuh menggelinding.

"Lo besok-besok kalo mau ngelindur bilang gue dulu. Jadi gue nggak kaget," gurau Bian sebelum membungkuk dan membiarkan Rafa naik lalu mengalungkan kedua tangannya di lehernya.

Hanya gumaman yang Bian dengar dari respon Rafa, lalu setelahnya kepala anak itu jatuh terkulai menimpa pundaknya. Anak itu cepat sekali terlelap, mungkin memang masih mengantuk. Bian tersenyum, kadang kala Rafa itu sangat menggemaskan di samping tingkahnya yang seringkali membuat dirinya emosi.

Just Here ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang