Part 34

4.4K 635 101
                                    

Happy reading..


---

Bian baru pulang setelah waktu dhuhur, ia lalu membuka pintu rumahnya dengan santai. Tangan kanannya menenteng plastik berukuran sedang, sedang satu tangannya yang lain menenteng tas hitam yang biasa ia bawa bekerja untuk menyimpan berkas yang tadi ia ambil dulu dari rumah Bayu sebelum membawanya ke rumah sakit. Langkahnya terayun ringan menuju kamar Rafa, mengingat anak itu ia tahan di dalam kamar.

Namun langkahnya terhenti saat ia menangkap suara televisi dari ruang tengah. Bian lalu mempercepat langkahnya menuju ruangan itu. Tapi kemudian ia terheran karena tak mendapati ada orang di ruang tengah, sedangkan televisi itu dalam keadaan menyala.

Ia lalu beralih pada sofa di depannya, sofa yang menghadap ke televisi dan membelakanginya. Ia sedikit tersentak saat mendapati ada Rafa di sofa itu. Anak itu tertidur meringkuk  menghadap televisi. Rupanya diam-diam Rafa keluar dari kamarnya, tanpa sepengetahuan dirinya. Bian menghela nafasnya, sedikit merasa bersalah karena mungkin Rafa keluar lantaran bosan berdiam diri di kamar. Apalagi tak ada yang menemani anak itu.

Bian lalu mendekat dan duduk di lantai yang beralaskan karpet berbulu itu dengan menghadap Rafa. Mengamati anak itu yang tampak tenang dalam lelapnya. Tangan Bian terangkat untuk mengusap rambut Rafa yang terlihat basah, mungkin karena keringat. Ia lalu melirik jam tangannya yang telah menunjukkan pukul satu kurang beberapa menit lagi. Ingin membangunkan Rafa, tapi ia sedikit tak tega. Bian bisa menjamin kalau Rafa pasti belum makan. Disuruh makan saja susah, apalagi tak ada yang menyuruhnya makan. Mau tak mau, Bian memang harus membangunkan Rafa untuk makan.

Bian mulai menepuk-nepuk pelan kaki Rafa, lalu beralih pada tangan anak itu yang dijadikan bantalan kepala.

"Rafa bangun."
"Hey, bangun Raf.."

Rafa mulai mengerjapkan matanya, menatap bingung pada Bian yang duduk di depannya. Tangannya terangkat untuk mengusap kedua matanya yang memburam. Lalu ia bangkit dibantu Bian dan berakhir dengan duduk menyandar di sofa, masih dengan tatapan bingungnya.

"Bangun dulu, lo belum makan kan?" ucap Bian yang kini pindah duduk di samping Rafa.

"Hah?"

Bian menggeleng, proses pengumpulan nyawa Rafa dari bangun tidur itu lama. Dan itu cukup menguji kesabarannya.

"Bangun dulu coba, lo kalo bangun tidur itu nyebelin, tau nggak lo hah?!" ujar Bian dengan menahan kesalnya.

"Ah, iya iya.."

Bian menghela nafasnya lagi, sabar. Ia lalu beralih pada plastik yang ia bawa tadi, dan mengeluarkan isinya. Ada beberapa botol jus dengan rasa buah dan sayur yang ia beli sesuai ijin dari Dokter Andre, tentunya agar bisa Rafa minum. Hasil pemeriksaan terakhir Rafa saat kambuh kemarin lumayan buruk. Mengharuskan Bian untuk lebih dulu berkonsultasi dengan Dokter Andre sebelum memberi makan atau minum Rafa agar tak sembarangan dan malah membahayakan kesehatan Rafa.

"Lo kalo ngumpulin nyawa itu bisa sejam sendiri, lama. Gue tinggal bentar, lo diem disini aja loh."

Bian beranjak pergi. Ia berniat untuk mengganti pakaian dan menyiapkan makanan untuk Rafa.

Rafa hanya berdehem, lalu membuka matanya lebih lebar. Menatap sejenak pada apa yang kini ada di atas meja. Tapi setelahnya ia lebih memilih beralih pada televisi, menyaksikan acara televisi yang kini sedang tayang.

Bian kembali tak lama kemudian dengan pakaian yang lebih santai, ia kemudian duduk di samping Rafa dan menyimpan nampan yang ia bawa di atas meja. Ia lebih dulu memberi Rafa minum, yang langsung anak itu terima.

"Makannya pake apa?" tanya Rafa setelahnya, seraya mengintip mangkok yang telah Bian pegang.

"Bubur lagi. Kan buat sementara ini lo harus makan yang halus-halus dulu," balas Bian, ia lalu menyerahkan mangkok yang ia pegang itu pada Rafa.

Just Here ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang