Part 2

8.6K 788 35
                                    

Happy reading..

---

Bian mengecek kening anak itu, berharap demamnya itu sudah turun. Dan Bian menghela nafas lega saat tau panas anak itu sudah mulai turun. Suhunya normal. Namun alis Bian mengerut kala netranya menangkap memar kebiruan di kening anak itu saat ia tak sengaja menyingkap rambut yang menutupi keningnya.

"Ck! Pasien bandel ternyata," gumamnya mendecak kesal.

Bian berniat untuk membetulkan infus anak itu terlebih dahulu. Namun harus terhenti karna pergerakan dari anak itu.

"Eunghh.."

"Hey, bangun." Bian mengusap tangan yang tadinya akan ia pasangi infus.

"Gu-gue dimana?" ujar anak itu pelan seraya mendudukan badannya, berniat untuk bersandar di kepala ranjang.

"Nggak usah bangun dulu, tiduran aja," ucap Bian.

Mengabaikan ucapan Bian, anak itu tetap berusaha mendudukkan dirinya, sebelum akhirnya kembali bertanya. "Biarin aja. Gue dimana?"

"Kamu di rumah saya, tepatnya di kamar saya," balas Bian.

"Lo siapa?" tanya anak itu lagi dengan raut bingung.

"Yang punya kamar lah."

"Ck, bodo amat lah."

Anak itu kembali diam setelahnya. Ia masih merasakan lemas, apalagi sakit di perutnya juga belum mau pergi darinya.

"Nama kamu siapa?" Kali ini Bian yang bertanya.

"Rafa," jawab anak itu pelan.

Bian mengangguk dan tersenyum, setelahnya ia kembali fokus pada infus yang akan ia pasang di tangan anak itu lagi.

"Jangan!" Anak itu menarik cepat tangannya.

"Loh, kenapa? Kamu harus di infus lagi," ucap Bian.

"Nggak usah. Cape-cape gue lepas juga."

"Kenapa di lepas si? Kenapa juga kamu kabur?!"

"Shuutt, diem dulu lah jangan ajak gue ngobrol. Perut gue sakit," anak itu memejamkan matanya, bahkan tangan kanannya tak pernah lepas dari perutnya di bawah selimut.

"Gimana nggak sakit, kamu nggak makan berapa hari hah?! Tadi juga, ngapain main kabur-kaburan?! Sok kuat banget," Bian mulai mengomel tanpa sadar.

"Plester di lepas, infusnya juga kamu copot. Kamu mau kemana, emangnya? Terus, ngomongin infus, kamu kenapa bisa lepas infus gitu?" lanjut Bian menatap heran plester yang menempel di jarum infus itu, masih terkesan rapi. Sepertinya di lepas dengan hati-hati.

"Udah biasa. Udah lah, jangan di ajak ngomong!" Anak itu terlihat mulai kesal.

"Ya udah iya. Sini tangannya, masih harus infus."

Tak mendapat respon, Bian menarik tangan kiri anak itu yang kini terkulai lemas di sisi badannya.

"Tuh kan, kamu aja lemes banget gini." Setelah terpasang, Bian juga menyuntikkan obat lewat infus itu.

Just Here ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang