Happy reading...
---
Bel pulang sudah berbunyi beberapa menit yang lalu, dan kini Rafa berjalan dengan Vano menuju parkiran.
"Maaf ya, hari ini gue nggak bisa boncengin lo, Raf. Gue ada perlu dulu ke sepupu," ucap Vano saat sampai di parkiran.
"Iya, elah Van. Lo kan udah bilang tadi, gue nggak papa kok," balas Rafa yang jadi merasa tak enak pada temannya itu.
"Tapi kan lo nggak dijemput, nanti pulangnya gimana?"
"Kan ada taksi, ojol juga bisa. Udah lah, sana lo pulang aja. Gue mah gampang," ucap Rafa lagi sambil mendorong punggung Vano agar segera mengambil motornya.
"Yaudah, gue duluan. Lo hati-hati, kalo ada apa-apa kabarin gue ya."
"Iya, lo kok makin bawel ya. Heran gue tuh."
Lalu kemudian Vano pergi dengan motornya, setelah sebelumnya melambaikan tangan ke arah Rafa.
Rafa akhirnya memilih duduk di halte. Ia mengambil handphone berniat ingin memesan taksi atau ojek online yang akan mengantarnya pulang ke rumah Bian. Mengenai Bian, hari ini dia tak bisa menjemputnya. Begitu juga Pak Bayu yang katanya juga ada kepentingan lain. Jadilah, saat ini Rafa masih ada di sekolah.
Namun niatnya harus pupus saat layar handphone yang beberapa waktu lalu dibelikan Bian itu mendadak menjadi hitam saat baru dinyalakan. Sepertinya kehabisan daya. Saat berangkat tadi pagi, daya handphonenya hanya tersisa limapuluh persen karena ia lupa mengisi dayanya.
"Alamat jadi penunggu sekolah ini mah," gumam Rafa kemudian menghembuskan nafasnya pasrah. Ia kembali memasukkan handphonenya ke dalam tas.
Kini ia hanya bisa menunggu angkutan umum yang lewat. Atau mungkin meminta Pak Bayu untuk memesankan ojol, jika lewat nanti. Rafa malas kembali masuk ke gedung sekolahnya, jadi ia menunggu saja di halte. Toh, nanti Pak Bayu keluar juga pasti melewatinya.
Lima menit berlalu, Rafa masih menunggu di halte. Pak Bayu tak kunjung keluar, bus atau angkot juga tak kunjung nampak. Daerah sekolahnya memang jarang di lewati angkutan umum. Bus yang biasa mengantar-jemput siswa juga sudah jalan sedari tadi. Lagipula, jarang ada siswa yang menggunakan angkutan umum karena rata-rata sudah membawa motor sendiri. Bagi yang belum legal, pihak sekolah melarang mereka membawa kendaraan sendiri.
Rafa menghela nafasnya lagi, ia sudah cukup lama menunggu. Ia mulai bosan, dan ia juga lapar. Perutnya mulai terasa perih. Hari ini ia tak membawa obatnya, jadi terakhir ia meminum obatnya itu tadi pagi. Dan ia melewatkan jadwal obat siangnya kali ini.
"Kalo gini terus, kapan gue pulangnya yaampun. Gue laper, ya kali gue mau pulang jalan kaki."
Rafa mengusap keringat yang mulai terasa membasahi keningnya, seragamnya juga sudah mulai basah.
"Tau gini mending gue tadi balik ke sekolah aja. Nggak papa dibilang nggak tau malu juga, kan lumayan bisa minta tolong sama Pak Bayu."
Rafa beralih meremat kaos seragamnya, rasa perih di perutnya kini menjadi rasa sakit karena ia biarkan. Tapi mau bagaimana, ia belum makan dan tidak membawa obatnya. Ya sudah lah, Rafa pasrah.
"Perut gue.. Ahh, apes deh emang," gumam Rafa menggerutu. Rasanya ingin marah, tapi ya mau marah ke siapa.
"Hei, lo nggak papa?"
Rafa yang awalnya membungkuk, kini mendongak dan menoleh mencari tau pemilik suara itu.
"Ah, iya nggak papa. Siapa ya?"
Rafa segera membenarkan duduknya, berusaha bersikap biasa sembari mengingat apakah ia mengenal orang di depannya kini.
"Panggil aja gue Rin, kelas 12. Kelas gue ada kegiatan tadi, jadi baru kelar kelasnya. Terus gue liat lo, jadi gue samperin. Heran aja, sekolah udah bubar dan udah pada pulang, tapi masih ada anak sekolah di halte." Orang bernama Rin itu kini mendudukkan dirinya di samping Rafa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Just Here ✔️
General FictionTerkadang, hangatnya kekeluargaan nggak mesti didapat dari keluarga kandung atau saudara yang sedarah.. Karena orang lain juga bisa menjadi orang paling dekat, bahkan menjadi keluarga..