Part 17

5.1K 624 59
                                    

Happy reading..


---

Tiga hari telah berlalu, Rafa pun sudah diperbolehkan untuk pulang. Dengan berbekal banyak wejangan dari Dokter Andre, saat itu Rafa pulang dengan hati dongkol. Rafa sebenarnya sama sekali tak memahami apa yang dokternya itu bilang, anak itu hanya mengiyakan apa yang ia dengar tanpa tau apa maksudnya. Rafa masa bodo, sudah ada Bian yang pastinya lebih mendengarkan dari pada dirinya.

Hari ini, sebenarnya Rafa sudah bersiap untuk bersekolah. Ia sudah memakai seragamnya, juga sepasang sepatu baru yang Bian belikan. Tapi lagi-lagi Bian masih menahannya. Dan berakhir dengan dirinya kembali berganti baju dengan pakaian santai di rumah. Moodnya mendadak buruk karena penolakan Bian tadi. Dan dari tadi ia hanya mengaduk-aduk buburnya yang menjadi menu sarapannya pagi ini.

"Dimakan dong, Raf," tegur Bian lagi. Kelakuan Rafa itu mengganggu penglihatannya, rasanya ia gemas ingin langsung saja menjejalkan bubur itu ke mulut Rafa. Tapi untungnya masih bisa ia tahan.

"Sekolah, ya?" pertanyaan itu keluar lagi dari mulut Rafa, yang pastinya akan tetap berakhir dengan penolakan.

"Kita udah bahas ini, Rafa.. Besok deh, atau lusa baru gue ijinin lo sekolah. Gue udah minta ijin ke Bayu, katanya nggak papa. Jadi, hari ini lo pake buat istirahat aja dulu, lo pulihin badan lo biar nggak lemes. Biar besok lo bisa mulai sekolah lagi."

"Aaah.. Bosen gue tuh, dari kemaren di rumah terus, tapi nggak ngapa-ngapain. Rasanya-"

"Nggak ngapa-ngapain? Terus kemaren yang motongin daun di halaman depan itu siapa hah?! Rusuh banget si tangannya, nggak bisa diem kalo liat gunting. Tanamannya jadi jelek lo guntingin gitu, Raf."

Rafa meringis mendengar omelan Bian lagi, padahal tadi malam ia sudah diomeli habis-habisan karena aksinya memotong daun tanaman hias milik Bian. Ia bukannya gabut atau apa, hanya saja ia salah kira. Ia seringkali melihat Mang Udin memotong daun dan rumput di depan rumah, jadi ia hanya ingin membantu Mang Udin dengan meringankan pekerjaannya. Tapi ternyata, yang ia potong itu bukan daun atau rumput yang harusnya dipotong, ia malah memotong daun tanaman hias milik Bian. Habislah sudah ia kena omel.

"Iyaa, kan gue udah minta maaf. Lagian gue juga nggak tau, kirain itu tanaman yang biasa Mang Udin potong. Niat gue baik itu loh, mau bantuin Mang Udin."

"Sok tau, sih lo. Makanya kan gue bilang lo itu cuma perlu diem, istirahat di kamar, tidur kalo perlu. Malah berkebon."

"Ehehe.. Tapi jadi cakep tau. Nggak jelek, kok. Cakep beneran itu taneman lo, botak sebelah, hahah.."

Bian menghela nafasnya, berusaha menahan tangannya untuk tidak menjitak kepala di depannya itu. Ia masih sayang telinga, yang harus ia lindungi dari berisiknya jeritan anak itu.

"Udah, jangan lagi lo deket-deket sama tanaman gue, titik!"

"Loh, loh.. Nggak bisa dong, kan tiap hari gue lewat situ sebelum masuk rumah."

"Ck! Ya maksudnya nggak usah lagi lo sentuh-sentuh itu tanaman! Jalan ya jalan aja, nggak usah meleng. Awas aja kalo sampe lo botakin lagi tanaman gue!"

"Iya iyaa, posesif banget timbang sama taneman doang. Posesif tuh nanti sama istri." Entah sadar atau karena reflek, Rafa akhirnya mulai menyendok buburnya. Memakan suap demi suap bubur sarapannya.

"Tau apa lo soal istri?"

"Istri, yaa cewek yang nanti hidup sama cowok abis nikah terus nanti bikin anak terus abis itu jadi keluarga deh."

Bian hampir saja tersedak makanannya karena ucapan Rafa. Bukan jawaban itu yang ia harapkan. Bian menutup mukanya dengan kedua tangannya, ia jadi malu sendiri.

"Lo ngomong apa barusan, Raf?" tanya Bian lirih.

"Kan tadi lo nanya tau apa gue soal istri. Nah, itu setau gue. Bener kan, jawaban gue?"

"Tau dari mana lo?"

"Lah, kan emang gitu kan? Semua orang juga tau kali."

"Ya, tapi lo tau dari mana? Kenapa bisa lo simpulin gitu?"

"Ehm.. Entah, ngikutin kata hati gue aja. Otak gue bilangnya gitu, mulut gue kan tinggal kopi pastel."

"Copy paste, Rafa.."

"Oh, salah ya? Terus pastel apaan? Temen gue dulu bilangnya kopi pastel."

"Pastel itu nama makanan!"

"Hahhaaha.. Ternyata temen gue rada sarap ya?! Baru sadar gue temenan sama orang sarap," Rafa reflek tertawa, membayangkan temannya yang sekarang entah bagaimana kabarnya itu. Ah, pasti anak itu merindukannya, apalagi dirinya yang mendadak hilang seperti ini.

"Pantesan lo ikutan sarap!" balas Bian.

"Heh! Enak aja ngatain gue sarap! Yaa, seenggaknya gue lebih waras sih dari dia."

"Nah, kan. Berarti lo juga sarap dikit."

"Iya, dikit doang tapi. Dikiiitt banget." Rafa mengangkat jari telunjuk dan jempolnya yang menyatu ke depan Bian, memberi gambaran dari sedikit yang ia katakan. Satu matanya juga ikut menyipit, seiring dengan ucapan anak itu.

"Alah, paling lo aja yang nggak mau ngakuin. Kelakuan absurd lo udah menjelaskan semuanya, betapa gesreknya diri lo itu."

"Heh! Sembarangan aja kalo ngomong!" Rafa bangkit dari kursinya, lalu tangannya menabok pundak Bian.

"Ish, pedes Raf. Tangan lo kecil tapi tabokan lo pedes banget," protes Bian seraya mengusap-usap bekas tabokan Rafa.

"Makanya jangan macem-macem sama gue!"

"Bodoamat! Gue udah selesai, gue berangkat ya. Lo yang anteng aja di rumah, terus juga nurut kalo dibilangin Mang Udin sama Bi Inah."

Rafa menganggukkan kepalanya, ia masih berusaha menikmati buburnya.

"Rafa denger nggak?" tegur Bian saat Rafa tak beralih untuk melihatnya.

"Iya iyaa, denger kok.. Kuping gue masih dua, dua-duanya masih baik fungsinya. Mau lo tengokin juga?" jawab Rafa dengan kesal seraya menatap sebal pada Bian.

Bian tersenyum puas, lalu mengusak rambut anak itu sebelum berlalu. "Gue mau berangkat, lo nggak mau salim nih?" tanya Bian berniat menggoda anak itu.

"Ogah! Tangan lo bau minyak. Gih sono pergi aja!"

Sekali lagi Bian mengusak gemas rambut Rafa, lalu berlalu keluar rumah dengan tawanya yang masih terdengar.

Rafa sendiri juga diam-diam ikut tersenyum, sudah lama ia tak merasakan kehangatan seperti ini. Biasanya, ia hanya akan bersarapan dengan ditemani Mbak Dini. Itupun hanya sekedar menemani, bukan untuk mengajaknya bercengkrama seperti saat ia bersama Bian tadi. Lagi-lagi Rafa mengucap syukur dalam hati, ia bisa dipertemukan dengan orang yang baik seperti Bian. Meski tak ia sangkal, ia juga merindukan orang rumah. Mau pulang pun, sayangnya Rafa lupa jalan pulang. Lalu masih ada Omnya yang tak ingin ia temui. Ia sendiri juga bingung, bagaimana Bian bisa mendapatkan data dirinya dari sekolahnya yang lama?

Sudah lama ia meninggalkan orang rumah, tapi sepertinya mereka mengira bahwa dirinya sudah ada di rumah opahnya. Tapi kembali lagi, untuk sekarang ia hanya perlu menjalani apa yang tengah ia jalani saat ini. Pasti akan ada saatnya nanti untuk menjelaskan semua yang terjadi sebenarnya.

Iya, tapi kalau ada kesempatan. Atau, kalau Rafa ingat. Jujur saja, ia mulai lebih nyaman tinggal bersama Bian dari pada harus kembali ke rumahnya. Apalagi, Papanya juga sangat jarang ada di rumah.

"Haahh.. Beruntung banget kalo ada yang bisa jadi adeknya Bian. Bian tuh baik banget jadi orang, sayangnya rada gesrek juga, nyebelin lagi. Untung dokter, jadi masih ada manfaatnya dikit, haha.. Ah, andai aja gue jadi adeknya Bian beneran. Hihi.."

---

Sampai jumpa di part selanjutnya..
Makasih udah baca ya..♡

Purbalingga, 12 November 2020
Re: 22 Januari 2022
Zaky_mai 💕

Just Here ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang