Happy reading..
---
Bian menempelkan satu plester penurun demam di kening Rafa. Anak itu terserang demam beberapa saat setelah dipindahkan ke ranjangnya. Sebenarnya Bian sudah menyadarinya dari awal ia masuk dan tak sengaja menyentuh tangan Rafa yang terasa panas.
Kini, Rafa tertidur setelah memakan bubur dan juga obatnya. Bian menghela nafas lagi, mungkin akan ia batalkan dulu niatnya menyetujui keinginan Rafa untuk bersekolah besok. Setidaknya sampai anak itu telah melakukan pemeriksaan terlebih dahulu.
"Bian,"
Bian hendak bangkit dan berlalu keluar kamar, namun panggilan lirih yang berasal dari Rafa menghentikan langkahnya.
"Jangan ditinggalin," lanjut Rafa tanpa membuka matanya.
Bian tersenyum seraya mengusap pelan kepala Rafa. Ia tak akan tega meninggalkan Rafa bila sudah begini adanya.
Maka berakhirlah dirinya yang kembali duduk di sisi Rafa. Mengusap kepala anak itu yang bahkan kini tak lagi tenang dalam tidurnya, padahal baru beberapa menit lalu Rafa terlihat pulas.
"Sstt.. Enggak papa Raf, tenang ya.. Jangan mikir apa-apa, ada gue disini," lirihnya.
Rafa membalikkan badannya menghadap Bian yang duduk menyandar di kepala ranjang. Ia meraba-raba dimana tangan hangat Bian berada. Sekedar ingin menyalurkan rasa tak nyaman yang kembali ia rasakan di perutnya. Ini yang Rafa tak suka. Walaupun ia sudah meminum obatnya tadi, tapi sakitnya masih bisa ia rasakan. Yang sudah pasti membuatnya kewalahan, karena sungguh tenaganya sudah terkuras dari awal sakit itu menyerang.
Naluri Bian sebagai seorang dokter pun segera peka, ia tentu paham bagaimana dan seperti apa menghadapi situasi tak asing seperti ini. Apalagi, dari awal pun ia sudah merasakan aura berbeda dari Rafa.
Bian memberikan satu tangannya untuk Rafa genggam. Raut sayu dan pucat, serta kerutan di dahi anak itu sudah cukup membuatnya paham. Maka Bian hanya diam, menemani anak itu sampai terlelap kembali.
Bian menghela nafas. Bukannya lelah, namun lebih ke rasa kasihan melihat Rafa seperti itu. Entah sampai kapan kondisi anak itu seperti ini. Sudah dua jam lebih dari saat pertama ia masuk kamar ini. Rafa sesekali masih meringis sakit, padahal tak sekalipun anak itu membuka matanya. Hanya genggaman tangan Rafa pada tangannya yang menjadi isyarat, seberapa sakit yang anak itu rasakan. Beberapa kali, Rafa mengeratkan genggaman itu, bahkan terkesan seperti ingin meremukkan tangan Bian sampai meninggalkan bekas merah.
Sampai tak terasa, kantuk mulai menyerangnya. Bian menyerah dan membiarkan kantuk itu mmembawanya untuk menyusul Rafa yang mungkin telah tertidur lebih dulu.
---
Pagi harinya, seperti biasa Bian telah dari habis subuh tadi berkutat di dapur untuk membuat sarapan. Menu sederhana seperti biasanya, nasi goreng untuk dirinya dan Mang Udin, serta bubur untuk Rafa. Bian belum bisa memastikan sampai kapan anak itu harus mengkonsumsi bubur untuk setiap harinya.
Ah, ngomong-ngomong tentang anak itu, Bian teringat bahwa Rafa belum bangun. Maka setelah selesai menata makanan di meja makan, ia bergegas menuju kamar anak itu. Mungkin saja anak itu sebenarnya telah bangun, namun belum mau keluar.
Dan Bian pasti sudah memegang gagang pintu itu, kalau saja langkahnya tak terhenti karena pintu itu yang tiba-tiba terbuka dengan rusuhnya dari dalam. Menampilkan Rafa yang kini berdiri tepat di depan pintu itu dengan balutan seragam sekolah yang jauh dari kata rapi.
"Lo-"
"Hehh! Kenapa lo nggak bangunin gue?! Tadi gue udah telat sholat subuh! Dan sekarang udah mau jam tujuh! Ini gue bisa telat Bian," omel Rafa memotong ucapan Bian.

KAMU SEDANG MEMBACA
Just Here ✔️
Ficción GeneralTerkadang, hangatnya kekeluargaan nggak mesti didapat dari keluarga kandung atau saudara yang sedarah.. Karena orang lain juga bisa menjadi orang paling dekat, bahkan menjadi keluarga..