Part 23

4.2K 570 53
                                    

Happy reading..




---

Malam ini Bian pulang sedikit larut dari biasanya. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, namun ia masih ada satu kunjungan lagi ke kamar pasien. Dulu tak masalah jika ia pulang jam berapapun, atau bahkan sampai menginap. Tapi sekarang berbeda. Semenjak Rafa tinggal dengannya, ia selalu merasa tak tenang jika pulang terlalu malam dan membiarkan Rafa terkantuk-kantuk menunggunya di ruang televisi. Ya, segalanya telah berubah semenjak kedatangan anak itu. Bian mulai terbiasa dengan semua itu, dan Bian rasa semua juga akan baik-baik saja.

"Dok, Dokter Bian.."

Bian mengerjap saat ada yang memanggilnya. Ia menoleh, mendapati seorang perawat kini berdiri di depannya. Bahkan ia baru sadar bahwa ia tengah duduk di ruang tunggu, entah dari kapan ia berada di tempat itu.

"Eh, iya Sus.. Maaf, kenapa?" tanya Bian sedikit canggung, menyadari bahwa ia baru saja melamun.

"Dokter ada visit pasien kamar 206. Dokter Tian juga sudah menunggu," ucap perawat itu.

"Ah, iya.. Terimakasih Sus, Suster bisa kembali," balas Bian.

Suster itu mengangguk sebelum pamit berlalu.

Bian segera beranjak menuju ruangan yang dimaksud suster tadi. Menahan perasaannya sendiri yang sudah sangat ingin pulang itu. Hanya sebentar lagi.

Bian merasa frustasi sendiri, hanya karena Rafa ia jadi seperti itu. Ah, memalukan sebenarnya.

---

Sementara di rumah Bian, Rafa tengah asik dengan televisi dan cemilan malamnya. Karena lapar, jadi ia merebus kentang yang Bian sediakan kemarin itu. Ditemani dengan teh manis yang hangat, juga tontonan dari box office movie yang kini suaranya memenuhi keheningan rumah itu. Meskipun film itu pernah ia tonton dulu, tapi tak apa karena kebetulan ia menyukainya.

"Jam setengah sepuluh. Tumben Bian belum pulang," ujarnya setelah melirik jam dinding diatas televisi.

Rafa kembali pada televisi, agak bosan sebenarnya. Karena bagaimanapun film itu pernah ia tonton, yang pastinya ia sudah tau kelanjutan di tiap adegan. Sudah tak ada lagi adegan mengejutkan yang perlu ia tunggu.

Saat-saat seperti ini, Rafa menyesalkan satu hal. Kenapa Pororo tak tayang malam hari juga? Kan lumayan untuk hiburan, begitu pikirnya.

"Bosen banget ya amsyong," gerutunya.

Ia beralih pada handphone baru yang Bian berikan kemarin. Ia baru ingat, terakhir kali menyentuh benda itu adalah tadi pagi saat Pak Bayu memasukkan nomornya. Ah, ia tak biasa memakai handphone. Handphone yang Papanya belikan dulu juga masih terlihat bagus, ya karena ia yang jarang menggunakannya.

Rafa meraih benda yang tergeletak di atas meja itu, netranya mendadak tertarik pada aplikasi kamera. Ia berpose dengan mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya. Lalu menatap hasil jepretan kamera itu. Ia tertawa, geli sendiri dengan pose yang ia lakukan. Tapi ia ketagihan, sampai beberapa kali ia malah asik berselfie-ria.

Ia memilih satu foto, sempat terpikir untuk mengirimkannya pada Bian untuk memberitahu bahwa ia masih menunggunya pulang. Tapi ia malu, juga gengsi.

Beberapa menit ia habiskan hanya untuk berpikir tentang kirim atau tidak foto itu. Sampai akhirnya, saat layar itu akan mati, ia reflek menyentuh layar. Dan sial- atau mungkin beruntungnya, ia menyentuh layar di bagian tombol kirim. Tentu foto itu kini sudah terkirim ke Bian, karena sedari tadi ia sudah ada di ruang obrolannya dengan Bian.

Rafa melotot, ia malu.

"Mampus potonya kekirim! Ini kalo Bian nanyain gimana?! Aish, mana nggak ada keterangan apa-apa lagi! Aaahh.. Gue harus gimana?! Udah centang biru lagi?! Mau apus juga udah telat banget. Yaish!!"

Just Here ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang