Happy reading..
---
Sampai ketika malam tiba, Rafa masih betah diam menonton acara televisi. Ia hanya beranjak untuk sholat, dan kembali ke ruang tengah lagi. Anak itu masih belum mau makan juga, membuat Bayu uring-uringan sendiri membujuk Rafa untuk makan. Bayu sampai menawarkan beberapa makanan kesukaan Rafa yang sebenarnya tak boleh anak itu makan. Tapi anak itu tetap menolak.
Setelah sholat Isya, Bayu akhirnya mengajak Rafa ke rumah sakit. Mungkin saja dengan begitu Rafa mau makan, begitu pikirnya.
Selama perjalanan, Rafa hanya diam. Anak itu menjadi lebih pendiam semenjak kejadian tadi. Bayu ikut diam saja, ia berusaha memaklumi. Bahkan setelah mereka sampai pun Rafa masih betah diam di balik maskernya. Membiarkan tangan Bayu merangkulnya sepanjang perjalanan.
Sesampainya mereka di ruangan tempat Bian dirawat, Bayu segera membuka pintu kamar rawat itu, lalu mengajak Rafa masuk.
"Bian belum bangun juga, Pak?" tanya Rafa saat pandangannya jatuh pada Bian yang tampak masih memejamkan mata. Kakinya melangkah mendekati ranjang Bian dan duduk di sampingnya.
Bayu tak menjawab, ia memilih untuk mendudukkan dirinya di sofa. Berniat menikmati pemandangan di depannya itu tanpa ingin ikut campur.
"Bian.." panggil Rafa lirih dengan tangan yang menggenggam tangan Bian, menggoyang-goyangkan tangan itu dengan pelan berharap bisa membuat Bian terbangun.
"Bian bangun, gue nungguin.." ucap Rafa lagi namun belum juga mendapat balasan.
"Aa, hikss.."
Bayu yang mendengarnya tersentak kaget. Rafa memanggil Bian dengan embel-embel Aa, dan ini untuk pertama kalinya.
"Aa bangun.. Ini pasti sakit, ya A?" Rafa beralih menyentuh perban yang menutupi kening Bian.
"Hikss.. Aa bangun.." Rafa mengangkat tangannya untuk mengusap air matanya yang tak berhenti menetes.
Bayu memandang Bian dengan kesal, bukannya orang itu sudah sadar dari tadi siang, lalu kenapa sekarang malah mengerjai Rafa seperti ini. Bayu menggeleng tak habis pikir, Rafa sampai menangis. Tapi akhirnya ia memilih diam seperti niat awalnya yang tak ingin ikut campur dengan urusan mereka. Biarlah ia ingin menikmati drama itu.
Sementara Bian, sebenarnya ia sudah bangun saat tangannya terasa diguncang pelan. Tapi ia masih terlalu malas untuk membuka mata. Sampai saat panggilan itu terucap dari Rafa, Bian sedikit terkesiap. Panggilan yang tak pernah ia bayangkan akan keluar dari bibir Rafa, baru kali ini Rafa memanggilnya dengan embel-embel, manggil Aa lagi.
"Rafa ..." ucap Bian setelah membuka matanya.
"Aa ... hikss.."
Bian bangun dari ranjangnya, lalu membawa Rafa ke dalam dekapannya. Tak tega melihat anak itu menangis dengan air mata yang berlomba-lomba menetes.
Bian mengusap punggung Rafa yang masih terisak di dadanya, "sstt.. Gue nggak papa, Raf. Udah, jangan nangis okey.."
"Gue takut," lirih Rafa dengan mengeratkan genggamannya di baju Bian.
"Sstt.. Gue disini, jangan takut. Udah nggak papa Raf."
Rafa hanya mengangguk, lalu menyamankan duduknya bersandar di dekapan Bian.
Bian sendiri memilih diam, tangannya masih mengusap punggung dan kepala Rafa. Beberapa menit berlalu, sampai saat ia mengintip rupanya Rafa tertidur. Ia beralih menatap Bayu di sofa, fokus dengan handphone.
"Bay," panggilnya.
"Apa," balas Bayu tanpa mengalihkan perhatiannya dari handphone.
Bayu akhirnya menoleh, menatap heran pada Rafa yang entah sejak kapan tertidur itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Here ✔️
Fiksi UmumTerkadang, hangatnya kekeluargaan nggak mesti didapat dari keluarga kandung atau saudara yang sedarah.. Karena orang lain juga bisa menjadi orang paling dekat, bahkan menjadi keluarga..