Part 32

4.6K 628 103
                                    

Happy reading..


---

Beberapa hari pun berlalu, Bian memang sudah diperbolehkan untuk pulang, namun masih harus tetap banyak istirahat. Perban di kepalanya juga sudah dilepas, digantikan dengan plaster untuk menutupi lukanya yang mulai mengering. Bian juga masih diharuskan untuk kontrol beberapa kali untuk memastikan lagi kondisinya.

Sementara Rafa, hari ini ia akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Seperti biasa, dengan banyak wejangan dari Dokter Andre sebagai oleh-oleh. Apalagi ini bukan jadwal pulang sebenarnya, karena seharusnya Rafa masih diharuskan opname dua hari kedepan, tapi anak itu terus memaksa untuk pulang. Jadilah, Dokter Andre mengiyakan dengan banyak syarat. Tapi seperti biasanya seorang Rafa, anak itu hanya mengangguk mengiyakan tanpa memberi perhatian yang berarti. Ada Bian, begitu pikirnya.

Ah, rupanya kini Rafa sangat bergantung pada sosok Bian. Rafa hanya tidak tau, atau mungkin abai bahwa tak seharusnya ia banyak berharap dari seorang Bian. Karena bagaimanapun juga, ia dan Bian memiliki urusan masing-masing. Tak selalu bisa untuk saling mengandalkan satu sama lain.

Kini mobil Bian sampai di halaman rumahnya, setelah tadi dibukakan gerbang oleh Mang Udin. Bian segera membuka pintu mobil dan turun lebih dulu untuk mengambil barang-barang Rafa di kursi belakang. Lalu beralih ke samping dimana Rafa duduk bersandar dengan mata terpejam, anak itu tertidur sepanjang perjalanan. Bian memaklumi, karena memang belum seharusnya anak itu pulang. Pasti tubuh Rafa belum sebaik itu untuk melakukan aktivitas yang memang belum seharusnya Rafa lakukan. Hanya anak itu saja yang terlalu keras kepala, juga memaksakan diri.

Bian lalu membawa Rafa ke kamarnya. Untuk beberapa hari kedepan, Rafa akan tidur di kamarnya dulu agar ia lebih mudah memantaunya.

Setelah merebahkan Rafa di ranjangnya, kini dirinya ikut berbaring di samping anak itu. Ia juga mengantuk, maka akan lebih baik jika ia ikut tidur dan beristirahat.

---

Malam harinya di kamar Bian, Rafa duduk dengan balutan selimut di ranjang. Malam ini hujan turun lumayan deras, membuat suasana malam ini terasa dingin. Jadilah, Rafa hanya bisa duduk tenang dengan selimut yang membungkus dirinya. Ia menatap bosan pada Bian, bahkan jengah dengan kegiatan Bian yang tak berubah dari beberapa menit yang lalu.

"Aa bisa diem nggak sih?" tegur Rafa untuk kesekian kalinya.

"Nggak bisa, itu berkas penting. Emang si ada salinannya, tapi yang asli juga harus ada."

Bian kembali membuka lemari khusus yang berisi berkas-berkasnya. Ia kehilangan salah satu berkas penting yang harus segera ia berikan pada rekannya di rumah sakit. Berkas itu harus segera dikembalikan, tapi mendadak hilang saat ia cari.

"Ya tapi udahan dulu, nggak cape apa? Aa duduk dulu, tenangin diri, abis itu baru dipikir lagi. Aa juga harus istirahat dulu, bentar aja nggak papa."

Bian menatap Rafa lesu, ia juga lelah sebenarnya. Tapi berkas itu juga harus segera ia temukan. Bian mendesah frustasi. Tapi akhirnya menurut juga, duduk di depan Rafa dengan mata sendu.

"Berkasnya harus segera dibalikin, itu penting," ujar Bian pada Rafa.

Rafa mengeluarkan tangannya dari dalam selimut, lalu menepuk pundak Bian pelan. "Aa diem dulu disini, tenangin diri. Terus coba inget-inget lagi, dimana terakhir Aa make berkas itu. Kalo Aa panik ya nggak bakal ketemu soalnya pikiran Aa kacau," ujarnya.

Bian menghela nafas lagi, berusaha tenang dan kembali mengingat-ingat kapan dan dimana terakhir ia melihat berkas itu.

Sampai kemudian sebuah nama muncul di kepalanya, dan seketika ia ingat semuanya. Bayu. Kemarin ia sempat menitipkan berkas itu pada Bayu. Saat itu ia buru-buru pergi ke rumah sakit karena Rafa tak ada yang menemani. Dan berakhir dengan dirinya yang lupa untuk mengambil kembali berkas itu.

Just Here ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang