🌥🌥🌥
Hari-hari Bian semakin terasa membosankan. Berangkat kerja, pulang malam, kerja lagi, lembur, pulang, ke sekolah Bayu, kerja lagi, lembur, begitu terus setiap harinya. Bian butuh sesuatu yang membuatnya semangat untuk terus menjalani hidup, karena hidupnya terlalu monoton sekarang. Ah, sebenarnya ada satu hal yang membuatnya masih semangat untuk terus hidup. Pertunangannya dengan Raina yang membutuhkan langkah lebih lanjut.
Ini sudah setahun semenjak keberangkatan Rafa ke luar negeri. Dan Bian masih belum terbiasa. Terkadang ia masih mengetuk kamar Rafa untuk membangunkan anak itu agar bersiap ke sekolah. Atau bahkan memanggilnya untuk sekedar mencari keberadaan anak itu. Ia lupa, kalau sekarang Rafa tak lagi bersamanya. Dan ternyata itu sulit, rumahnya kembali sepi. Karena itu ia lebih memilih untuk lembur di rumah sakit, bahkan terkadang sampai tidur disana.
"Bian!"
Bian menoleh, lamunannya ikut terhenti, di depan sana ada Bayu yang melambai dan tengah berjalan menghampirinya.
"Gue cariin di UKS, taunya malah lagi makan. Lo gimana sih? Kan lo gue tungguin di kantor, kenapa nyasar ke kantin?" omel Bayu lalu mendudukkan diri di depan Bian.
"Malu sama guru lain, lo sih kelamaan. Dan gue keburu laper, jadi duluan ke kantin." Bian menyeruput lagi jus jeruknya.
"Ya deh, maaf. Ngomong-ngomong, Raina bilang mau ketemu. Hape lo nggak aktif, jadi chat gue. Ngajakin makan malam, katanya mau ngenalin temennya lagi ke gue."
Bian reflek meraba saku jaketnya, tempat ia menyimpan handphone. Ia lalu mengeceknya, ada pesan dan panggilan dari Raina juga beberapa pesan lain dari rekannya di rumah sakit.
"Mode silent, pantesan," gumamnya. Lalu ia mulai membalasnya satu persatu.
"Ah, kebiasaan."
"Dateng yok? Jam delapan, siapa tau kali ini jodoh gue.""Hm, gue aminin aja." ujar Bian tanpa beralih dari handphone.
"Yang serius, gue juga mau nikah kali. Lo tuh, kapan mau nikah? Jangan diikat doang, kelamaan Raina keburu males."
"Apasih?! Raina yang gue iket, lo yang sewot."
"Malu noh, sama cincin yang mengkilap di jari."
"Nanti juga gue nikahin. Tapi Bay, gue pengen lanjut ngambil spesialis. Kira-kira, Raina mau nunggu nggak ya?"
"Enggak! Gue jadi Raina mending minta putus aja."
"Heh?! Kok gitu?"
"Ya kelamaan atuh, Bian! Nikahin aja dulu."
"Hm, ntar lah gue pikirin lagi."
Bian kembali menikmati makan siangnya di kantin sekolah, sementara Bayu juga ikut memesan makan. Istirahat makan siang berakhir beberapa menit lalu, jadi kantin sudah sepi dari siswa-siswi yang kini telah masuk ke kelas. Jadi Bian dan Bayu lebih leluasa untuk mengobrol di kantin.
Hanya seperti itu keseharian Bian, terkadang Raina mengajaknya makan keluar bersama dengan Bayu juga, sekaligus dalam misi mencarikan Bayu calon istri. Semenjak Bian bertunangan dengan Raina, Bayu juga ingin punya calon istri juga katanya. Jadilah, keduanya sepakat untuk mencarikan Bayu calon istri, dari beberapa kenalan Raina salah satunya.
---
🔮🔮🔮
Bian mantap, hari ini ia akan menikahi gadis pujaannya dari dulu. Dengan didampingi keluarga mendiang Ayahnya, Bian sudah sangat yakin akan memperistri Raina.
Sedikit perasaan sedih, karena di hari istimewa ini tak ada kehadiran orang tuanya. Tapi bagaimanapun juga, semua harus tetap berjalan. Bian berusaha kuat untuk itu. Dan lagi, di hari ini juga tak ada Rafa, padahal dulu mereka pernah mengobrolkan tentang hal ini. Rafa bilang dia harus jadi tamu istimewa di pernikahan Bian. Sebab, karena dirinya lah Bian bisa bertemu lagi dengan Raina, begitu kata Rafa.
Bian tersenyum mengingat kembali obrolan itu, hanya sayangnya obrolan itu hanya sekedar obrolan. Tak bisa diwujudkan.
"Bian, lo udah siap?"
Bian sedikit berjengit saat suara Bayu terdengar, ia lupa kalau di kamar ini ada orang lain selain dirinya. Ada Bayu yang menemaninya bersiap, duduk di sofa pojok dengan handphone di tangannya.
"Gue deg-degan, Bay. Tapi siap kok, harus siap juga soalnya."
Bayu terkekeh, masih sedikit tak menyangka bahwa hari ini temannya itu akan melepas masa lajang, dengan teman perempuan mereka pula.
"Nggak papa, nanti lama-lama juga santai," ujarnya.
"Prett, kayak yang pernah aja lo?!" cibir Bian. Bukannya apa, tapi ia masih ingat saat tunangan Bayu beberapa bulan lalu. Bayu sampai tremor saat akan memakaikan cincin di jari calonnya. Bahkan tangan Bayu sampai berkeringat dingin saking groginya. Tapi untung semua berjalan lancar sesuai rencana, Bian akhirnya bertunangan dengan perempuan yang terakhir kemarin Raina kenalkan. Karena merasa cocok, Bayu akhirnya mengajaknya serius dan akhirnya memutuskan untuk bertunangan.
"Liat abang gue dulu. Pas nikah grogi parah, eh pas ijab qobul lancar jaya. Padahal yang nikahin bapaknya si cewek, santai banget abang gue, heran."
"Do'ain semoga lancar, Bay. Gue do'ain lo cepet nyusul juga."
"Siap. Ayo turun, sebentar lagi kita berangkat."
Setelahnya Bian keluar dari kamar diikuti Bayu, menuju mobil yang akan membawanya ke rumah Raina, tempat akad akan dilaksanakan. Saat turun, semua anggota keluarganya sudah berkumpul. Sepertinya hanya tinggal menunggu dirinya siap dan mereka akan berangkat.
"Sudah siap, Bian? Gimana perasaannya?"
Bian menoleh, ada Om Galih, kakak almarhum ayahnya. "Aku deg-degan Om, tapi gimanapun juga ya harus siap."
"Nggak papa, santai aja."
Bian ikut tersenyum saat Omnya itu menepuk pundaknya dengan senyum meyakinkan.
Kemudian rombongan berangkat, butuh sekitar satu jam untuk sampai ke rumah Raina. Dan Bian semakin merasa deg-degan.
Saat mobilnya sampai, pihak keluarga Raina sudah menyambut di luar. Dan tanpa membuang-buang waktu, akad segera dilaksanakan dengan Ayah Raina sebagai orang yang akan menikahkannya.
"Ananda Fabian Ariansyah bin almarhum Erlangga Hardiansyah, saya nikahkan dan saya kawinkan anak kandung saya Raina Putri Wardhana binti Raisman Adidoyo kepada engkau dengan maskawin seperangkat alat sholat dan uang seratus juta rupiah, tunai."
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Raina Putri Wardhana binti Raisman Adidoyo dengan maskawin seperangkat alat sholat dan uang seratus juta rupiah, tunai!"
Dan setelah terdengar kata sah terucap, Bian merasa lega luar biasa. Akhirnya kini Raina resmi menjadi istrinya, dan kini ia sudah menjadi seorang suami. Kemudian Bian berbalik, membiarkan Raina mencium tangannya sebagai seorang istri.
Bayu di belakang sana ikut tersenyum lega, bahagia karena Bian akhirnya resmi menikah. Dan ia bersyukur semua berjalan lancar. Lalu ia beralih pada handphone yang sedari tadi ia angkat untuk menangkap momen sakral Bian dan Raina.
"Gimana? Udah liat kan Bian akhirnya nikah sama kakaknya temen kamu."
Di seberang sana, ada Rafa yang tersenyum ikut bahagia. Ia akhirnya bisa melihat Bian menikah. Sebelumnya, ia sempat menghubungi Pak Bayu, menanyakan kapan akad Bian dilaksanakan. Tapi mungkin karena sibuk, Pak Bayu itu tak kunjung membalasnya. Tapi siapa sangka, tiba-tiba Pak Bayu malah melakukan panggilan video, buru-buru ia angkat dan sedikit terkejut karena tau-tau layarnya memunculkan muka Bian dan Raina, meskipun dari jarak yang tak dekat. Tapi ia sungguh bersyukur, karena Rafa kira ia akan melewatkan momen istimewa ini.
"Makasih, Pak Bayu. Berkat bapak, aku bisa liat A Bian nikah."
Bayu mengangguk, ikut senang juga.
"Ya sudah, sudah dulu ya. Nanti setelah acara selesai saya hubungi lagi." Bayu akhirnya mematikan panggilannya setelah Rafa iyakan. Ia harus ikut membantu lagi acara Bian.
Demi sahabatnya itu tak apa, ia rela jadi babu dadakan.
---
Kalo ada salah, tolong koreksi yaa..
Part depan terakhir, percaya gak? ✌🏻Mai~
29Feb24

KAMU SEDANG MEMBACA
Just Here ✔️
General FictionTerkadang, hangatnya kekeluargaan nggak mesti didapat dari keluarga kandung atau saudara yang sedarah.. Karena orang lain juga bisa menjadi orang paling dekat, bahkan menjadi keluarga..