Part 4

7.4K 764 53
                                    

Happy reading..

---

Malam harinya selepas isya, Rafa menagih janji Bian yang siang tadi mengatakan jika malam ini, ia sudah diperbolehkan untuk pulang.

"Mana janji lo hah? Katanya malem ini gue udah boleh pulang," tagihnya.

Sementara Bian memutar bola matanya jengah. Ini sudah ke-sekian kalinya Rafa menanyakan hal yang sama. Padahal anak itu belum lama bangun dari pingsannya sore tadi. Ternyata ingatan anak itu kuat juga.

"Iya sabar, dasar bocah! Dari tadi itu doang yang lo tanyain, bosen gue dengernya. Lo juga belum lama sadar, kalo lo lupa. Tunggu aja, nanti Dokter Andi kesini," balas Bian masih mencoba untuk bersabar. Tak ingin kelepasan lagi seperti tadi siang yang menyebabkan anak itu menangis.

Tak lama setelahnya, Dokter Andi datang dengan ditemani oleh suster yang tadi siang juga menemani beliau. Dokter Andi tersenyum menyapa saat memasuki kamar rawat Rafa.

"Hallo Rafa, gimana perasaan kamu?" tanyanya, sebelum memulai untuk memeriksa Rafa.

"Baik, setelah dokter lepas ini dari tangan aku," balas Rafa dengan mengangkat tangannya yang diinfus.

Dokter Andi tersenyum maklum. Beliau masih ingat saat visit sore tadi, anak itu sama sekali tak mau melihatnya, ngambek karena ia tak mau menurutinya untuk melepaskan infusnya.

"Oke oke. Baiklah sus, tolong lepas infus Rafa." putus Dokter Andi akhirnya.

"Baik dokter," suster bernama Sella itupun mengangguk, mendekat ke Rafa untuk melepaskan infus di tangannya.

"Nah, selesai." gumam suster Sella.

"Nah, gitu kek dari tadi. Kan lega rasanya," Rafa menggerakkan tangannya yang kini telah sepenuhnya lepas dari infus, tergantikan dengan kapas yang tertutupi plaster untuk menghentikan darahnya yang keluar.

"Udah selesai. Ayo pulang," Rafa turun dari ranjang dan menarik tangan Bian untuk keluar dari kamar rawatnya.

Ah, kurang ajar sekali..

Bian balik menarik kerah piyama rumah sakit yang masih Rafa kenakan.

"Kenapa?" tanya Rafa mendongak, menatap Bian.

"Nggak sopan banget sih lo! Pamit sama dokter dulu. Dan lo lupa sama piyama rumah sakit yang masih lo pake?" sahut Bian dengan menunjuk piyama yang masih Rafa kenakan.

Sementara Rafa malah menunduk. Menatap kakinya yang menapak di atas lantai dingin itu tanpa alas kaki.

"Lah, lo kenapa lagi?" Bian mendekat, meraih kedua bahu kecil Rafa. Mengacuhkan sebentar dokter dan suster di seberang ranjang sana.

"Gua nggak punya baju kalo lo lupa. Gue kan anak ilang," lirih Rafa.

Bian rasanya ingin tertawa mendengarnya. Tapi sebisa mungkin ia menahannya. Merasa lucu dengan jawaban anak itu, namun juga kasihan mengingat asal-usulnya.

"Ya udah, lo tunggu gue. Gue mau ngobrol bentar sama dokternya dulu. Nggak lama kok, lo disini aja." Rafa hanya mengangguk menurut. Lalu kembali duduk di ranjangnya dengan kaki yang ongkang-angking di sisi ranjang. Membiarkan Bian keluar bersama dokter dan susternya.

Hingga beberapa menit kemudian, Bian kembali masuk ke kamar rawatnya, seorang diri.

"Ayo pulang," ajaknya.

"Piyamanya gimana?" Rafa menahan tangan Bian yang mengajaknya turun dari ranjang.

"Udah, pake aja nggak papa."

Just Here ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang