Part 10

6.8K 664 29
                                        

Happy reading..

---

Rafa menatap gelisah pintu kamarnya. Hari sudah sore dan ia sudah rapi. Hanya tinggal menunggu Bian datang menjemputnya ke kamar. Tapi, mendadak ia ingin mengurungkan niatnya untuk pergi ke rumah sakit. Entahlah, yang jelas ia akan kembali melakukan perlawanan jika nanti Bian memaksanya. Tak peduli, yang jelas ia akan tetap menolaknya.

"Hhaah! Bian bikin hidup gue nggak tenang aja sih?! Lagian, ngapain juga gue jadi kayak orang gabut gini, mondar-mandir nggak jelas. Ini semua gara-gara Bian, emang."

Rafa belum mau berhenti mengoceh, ia masih sibuk mengutarakan kekesalannya. Padahal ia hanya cukup diam dan tunggu Bian datang, sebelum nanti ia katakan bahwa ia menolaknya. Tapi, yah namanya saja Rafa.

Sampai kemudian, Bian datang dengan setelan dokternya yang terlihat rapi.

"Udah siap?" tanyanya.

Rafa gelagapan, "eung, enggak! Gue- gue nggak jadi ikut lo deh, gue di rumah aja. Kasihan Mang Udin sendirian, kan Bi Inah udah pulang. Bian lo gimana sih, masa tega biarin Mang Udin sendiri di rumah segede ini," ujarnya yang kini beralih mendudukkan diri di sofa kamarnya.

Bian memutar bola matanya malas, jengah dengan sikap Rafa yang suka sekali membuat alasan untuk menolak sesuatu.

"Alesan! Kebiasaan deh. Mang Udin udah biasa sendiri, kalo lo lupa. Beliau itu udah dewasa, kalo lo lupa juga. Dan beliau itu penjaga rumah, Rafa, ya ampun! Mana mungkin takut kalo cuma jaga rumah doang, mah. Itu juga udah tugas Mang Udin, Rafa, astaga!"

Rafa meringis, itu memang hanya alasannya saja. Tapi, sepertinya ia salah. Bukannya membantu, alasan itu malah membuatnya terjebak sendiri.

"Ayo buruan, udah jam setengah lima. Gue janjiannya jam 5 sama dokternya," Bian menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

Rafa reflek menggeleng, "enggak deh, ya. Nggak usah ke sana. Lo berangkat sendiri aja sana, gue di rumah aja."

"Heh, kok lo jadi berubah pikiran gini sih? Tadi lo udah mau nerima tawaran gue. Besok lo udah berangkat loh. Ayo kita periksa dulu, biar besok lo bisa sekolah,"

"Eh, kok gitu?"

"Iya, kalo lo nggak mau periksa, ya berarti lo nggak jadi sekolah besok."

"KOK GITU?!! NGGAK BISA DONG! JADWALNYA GUE BERANGKAT BESOK! KATA LO JUGA BOLEH!"

"Lo aja bisa berubah pikiran, berarti gue juga bisa dong. Besok nggak usah berangkat, ya?"

"Jangan dong! Ih Bian ih, mainnya gituu! Nggak asik, ah."

"Ya biarin. Jadi-"

Belum juga Bian menyelesaikan ucapannya, terdengar rintikan hujan yang mulai jatuh membasahi bumi.

"Jadi gue tetep nggak mau. Lagi ujan Bi," sambung Rafa senang, ini kesempatan bagus untuk menolak ajakan Bian dengan alasan hujan.

"No Rafa, kita-"

Belum juga ia selesai bicara, lagi-lagi ucapannya itu terpotong. Kali ini karena deringan dari ponselnya, tanda ada panggilan masuk.

"Bentar, lo jangan kabur! Gue bakal balik lagi," Bian keluar dari kamar untuk mengangkat telpon. Meninggalkan Rafa yang tersenyum senang.

"BIAN YANG LAMA AJA!" teriaknya menanggapi ucapan Bian.

"Semoga nggak jadi aja Ya Allah.. Ujannya gedein, biar nggak bisa diterobos, jadi kan gue nggak usah ke rumah sakit. Pliiiss.." gumam Rafa yang mengangkat kedua tangannya, untuk berdo'a.

Just Here ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang