Happy reading..
---
Suasana kamar rawat Bian terasa lebih sepi selepas kepergian Bayu dan Dokter Andre. Bian dan Rafa sama-sama diam, belum ada yang berniat membuka percakapan di antara keduanya.
Menit berlalu, dan mereka masih betah diam. Sampai akhirnya, Bian yang pertama membuka suara. Ia mengintip Rafa terlebih dahulu kala anak itu masih betah diam menyandar padanya.
"Rafa.." panggilnya.
"Hmm.."
"Nggak mau cerita apa-apa? Lo diem banget dari tadi."
Rafa tak menjawab, hanya memberi sebuah gelengan bahwa ia enggan menjawab.
"Jangan dipendam, cerita aja hm?"
Bian diam, memperhatikan setiap pergerakan Rafa. Anak itu menghela nafas sebelum membenarkan duduknya dan mendongak menatapnya.
"Gue ... Gue masih takut. Ini pertama kalinya gue ngalamin hal kayak gini.." Rafa menunduk sebentar, sebelum kambali menatap Bian.
"Rasanya masih kebayang sampe sekarang. Masih kerasa pas tiba-tiba mobilnya belok terus nabrak. Lo tadi berdarah banyak, gue nggak pernah liat darah sebanyak itu sebelumnya. Tapi tadi kepala lo berdarah, banyak-"
"Ah- okey udah. Jangan diterusin," Bian membawa Rafa ke dalam dekapannya lagi dan mengusap punggungnya saat tubuh anak itu mulai bergetar. Sepertinya kecelakaan tadi meninggalkan trauma bagi Rafa, anak itu terlihat ketakutan.
"Gue minta maaf.. Maaf udah buat lo ketakutan. Tapi lo sekarang udah aman, udah nggak papa. Jangan takut, gue disini. Jangan di pikirin lagi, okey. Sekali lagi gue minta maaf. Nggak papa Raf.."
Rafa mengangguk dan mengeratkan pelukannya di pinggang Bian. Entah kenapa, kejadian tadi siang sungguh masih berputar dalam ingatannya. Padahal ia sudah ketakutan, tapi seolah kejadian itu menolak untuk dilupakan.
Sampai kemudian, pintu kamar rawat dibuka dari luar. Lalu masuklah Bayu dan Dokter Andre yang baru kembali dari luar, juga seorang suster yang membawa nampan berisi makanan khas rumah sakit, mengekor di belakang mereka.
"Taruh di meja ya Sus, suster bisa kembali setelahnya. Terimakasih," ucap Dokter Andre pada suster itu.
Suster tadi mengangguk menjalankan perintah Dokter Andre, lalu pamit keluar setelahnya.
"Wahh, mesra banget udah kayak bapak sama anak," ujar Bayu sebelum mendudukkan dirinya di sofa kembali.
Dokter Andre tersenyum, lalu duduk di kursi seperti sebelum ia pergi tadi.
"Bian masih muda loh. Masa bapak sih," komentar Dokter Andre menimpali.
"Tau tuh guru satu.. Ah, dok, mungkin Bayu sendiri yang udah pengen punya bujang, dok. Keseringan main sama bujang-bujang di sekolah sih," balas Bian.
"Lah, malah gue yang kena. Nyesel gue nyinyirin," gumam Bayu yang dibalas tawa oleh Bian dan Dokter Andre.
"Kapok!" ujar Bian diiringi tawa setelahnya.
"Nah, Rafa.. Kamu makan dulu ya?" Dokter Andre beralih mengambil mangkok yang dibawa suster tadi, berniat menyuapi Rafa makan.
Rafa hanya menoleh sebentar, lalu kembali memeluk Bian lagi. Seakan tak peduli pada apa yang ada di sekitarnya.
"Makan dulu, Raf. Sedikit aja nggak papa," Bian ikut membujuk.
"Nggak usah. Enggak laper," balas Rafa dengan suara yang mulai serak.
"Dikit aja, Raf," tambah Bian ikut membujuk lagi. Tapi Rafa tetap meresponnya dengan gelengan.
Bian menghela nafas, sebelum akhirnya menatap Dokter Andre seakan mengatakan bahwa ia pun menyerah membujuk Rafa makan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Just Here ✔️
Genel KurguTerkadang, hangatnya kekeluargaan nggak mesti didapat dari keluarga kandung atau saudara yang sedarah.. Karena orang lain juga bisa menjadi orang paling dekat, bahkan menjadi keluarga..