Part 42

1.3K 207 25
                                    

Happy reading..




---

"Lo nggak nyesel udah mutusin gini?" tanya Bian, ia menoleh pada Rafa di sebelahnya sebentar lalu kembali fokus pada jalanan.

"Enggak! Lo udah nanyain itu dari awal masuk lift ya!" balas Rafa dengan sedikit kesal.

"Ya kan gue mau mastiin, kali aja nanti lo berubah pikiran."

Setelah menghabiskan beberapa menit untuk berpikir, akhirnya Rafa memutuskan untuk kembali tinggal dengan Bian. Menolak ajakan Opahnya dengan alasan ingin menghabiskan waktunya dengan Bian sebelum kembali pulang dengan Papanya nanti. Awalnya sang Opah melarang, takut merepotkan Bian lagi katanya. Tapi Bian langsung menengahi dengan mengatakan ia tak masalah jika Rafa kembali tinggal dengan dirinya. Karena dalam hati pun Bian benar-benar mengharapkan hal itu. Jadilah, kini mereka dalam perjalanan pulang menuju rumah Bian. Setelah sebelumnya menghabiskan waktu makan malam bersama di kantin rumah sakit.

Rafa lalu menggeleng. "Kalo lo mau tau, justru gue bakal nyesel kalo gue tadi milih tinggal sama Opah. Abis itu nanti Papa jemput bawa gue pulang dan gue nggak sempet ketemu lo dulu. Padahal kita nggak tau kapan bisa ketemu lagi. Jadi mending gue ngikut lo lagi, habisin hari-hari terakhir gue sama lo sebelum nanti gue pulang. Gue nggak peduli lo mau repot sama gue nantinya atau gimana, lo pasti udah biasa gue repotin. Toh tadi Opah bilang kalo selama ini- maksudnya setelah tau gue ditemuin sama lo, biaya hidup gue Opah yang tanggung. Eh, itu termasuk sekolah gue?"

Bian awalnya tertegun dengan ucapan Rafa yang kelewat jujur itu, tapi kemudian ia tersadar dan menoleh pada anak itu.

"Lo ngomong dari hati ya?"

"Lah?"

"Lo beneran nggak mau pisah ya dari gue?" Nada bicara Bian berganti meledek.

"Enggak juga! Tau dari mana?! Ah! Lupain aja, tadi gue ngelindur." Rafa memalingkan wajahnya menatap ke luar kaca mobil.

Bian tertawa mendengarnya. Ia menoleh mendapati pipi Rafa yang bersemu merah. Ia hanya mengangguk saja menanggapi, tak ingin menggoda anak itu lagi. Takut diamuk.

"Kalo soal biaya hidup, uang Opah lo gue pake buat urusan lo sekolah. Awalnya pake duit gue, tapi Opah lo maksa yaudah. Sementara soal makan dan lain-lain itu dari gue. Dari awal gue udah ikhlas ngurus lo, jadi nggak pernah berharap bakal diganti walaupun lo udah ketemu sama keluarga lo."

Rafa hanya terdiam mendengar penjelasan Bian. Ia benar-benar bersyukur bisa bertemu Bian. Dan itu membuatnya semakin tak ingin meninggalkan orang itu.

"Lo terlalu baik. Tapi gue kasihan, lo masih jomblo. Nikah sana, pasti istri lo nanti beruntung banget punya suami kayak lo."

"Lo ngomong apa sih? Gue belum siap buat bangun rumah tangga. Masih jauh dari pikiran gue."

"Yayaya, terserah lah. Gue mau tidur, nanti bangunin ya kalo udah sampe." Rafa menyamankan duduknya dengan bersandar di kursi. Jam hampir menunjukkan pukul delapan malam, dan kantuk sudah mengajaknya untuk pergi ke alam mimpi.

Bian menoleh sebentar setelah mengiyakan ucapan Rafa. Padahal sebentar lagi mereka sampai, tapi anak itu malah berniat tidur.

Sampai saat mereka tiba di rumah, Bian segera membangunkan Rafa. Lalu ia turun dan masuk lebih dulu ke dalam rumah, membiarkan Rafa sendiri mengumpulkan nyawanya. Akan lama jika ia menungguinya dulu.

Bian membuka pintu rumah, namun ia dikagetkan dengan televisi yang menyala sementara tak ada orang yang menontonnya. Mang Udin tadi ada di luar, lagipula Mamang bukan orang yang suka menonton televisi, beliau lebih suka mendengarkan radio. Lalu arah pandangnya beralih ke dapur, saat itu juga suara benda jatuh terdengar. Seketika Bian ingat akan temannya yang satu itu. Pasti Bayu, tak salah lagi. Bian menghela nafasnya sebelum berjalan menghampiri orang itu. Malam ini sepertinya akan panjang lagi seperti tadi malam.

Just Here ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang