Part 6

6.9K 702 52
                                    

Happy reading..



---

Bian terdiam mengamati Rafa yang kini mencoba untuk bangun dari ranjangnya. Ah, sepertinya Rafa itu bukan hanya pasien yang bandel, tapi juga anak yang bandel.

"Yakin nggak? Kalo nggak, mending lo nurut sama gue aja deh."

"Diem lo!"

"Oke, gue diem."

Rafa berdiri dengan bertumpu pada meja di samping ranjang. Perlahan tapi pasti, ia mulai melangkah menjauh dari ranjang, meskipun dengan sangat lambat. Sesekali Rafa terhenti dengan tangan yang mengusap perutnya. Perutnya mulai berulah, mungkin itu bentuk protes karena dirinya yang memaksakan diri.

"Nggak usah dipaksa Rafa, balik aja sini. Tawaran gue tuh udah gampang banget, tinggal lo cerita terus lo bisa tenang tinggal disini. Dari pada kaya gini, yang ada lo udah ambruk duluan sebelum sampai di pojokan."

"Diem deh!"

"Iya-iya, elah."

Bian menyilangkan kedua tangannya di dada, memandang jengah pada Rafa yang kini sudah setengah jalan. Padahal jika Bian yang jalan, hanya butuh beberapa detik saja.

Sementara Rafa, anak itu berhenti sebentar sebelum akhirnya berjongkok di tempatnya. Tangannya meremat baju di bagian perutnya. Ah gomong-ngomong, dia masih memakai piyama rumah sakit. Mengingat, dia tak memiliki baju satupun. Seragam yang ia kenakan kemarin, entah sekarang ada dimana.

"Lo kenapa?" tanya Bian santai seraya menghampiri Rafa. Ikut berjongkok di depan anak itu.

"Enggak, nggak papa. Sana lo, jauh-jauh dari gue," Rafa sedikit mendorong tangan Bian yang ada di depannya.

"Songong lo, bocah."

"Bodoamat!"

"Oke, kita liat seberapa kuat lo kayak gitu Raf."

"Kuat, kok gue."

"Masa?"

"Diem deh!"

"Ck! Keras kepala."

Namun, setelah beberapa menit berlalu, Rafa tetap diam di posisi jongkoknya. Ingin bangun, tapi tak kuat. Mendadak, kakinya terasa sangat lemas. Tapi, kalau ia menyerah, pasti ia akan diledek oleh Bian. Ah, Rafa ingin menangis saja, rasanya.

Pengen nangis, huweee..

"Kenapa diem? Nggak mau lanjut lagi nih? Udah setengah jalan loh Raf," tanya Bian. Ia merasa lucu sebenarnya, tapi kasihan.

"Tolongin ... Enggak bisa bangun," adu Rafa yang akhirnya menyerah. Ia tak mungkin bisa bertahan di posisi itu terus.

Tawa yang sedari tadi Bian tahan akhirnya membludak, melihat Rafa yang kini menatapnya bak anak anjing, melas sekali. Rafa itu sok-sokan sih.

"Jangan ketawa! Kaki gue beneran kayak jelly nih," Rafa mulai menundukkan kepalanya, tak kuat bila harus berlama-lama mendongak untuk menatap Bian.

"Hm, sok-sokan sih."

"Elah lo mah, nggak mau nolongin gue gitu?" Rafa semakin menunduk, seiring dengan sakit yang kian terasa di perutnya. Suaranya pun terdengar semakin lirih.

"Ck! Besok-besok kalo ada yang gampang, nggak usah ambil yang susah. Yang repot tuh lo sendiri," Bian mengulurkan tangannya untuk meraih tangan Rafa. Menariknya lembut dan memapahnya kembali menuju ranjang. Sedikit kesulitan karena Rafa yang sesekali menunduk untuk meredakan sakitnya.

"Nah, kan, kerasa! Kaya gini belagak mau pergi. Udah tepar dulu lo sebelum jalan."

Rafa mendengus sebal mendengar omelan Bian sebelum berucap, "nggak gitu juga kali."

Just Here ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang