Akhir

729 68 14
                                    

Sebelumnya...


🌃🌃🌃

Setelah mengobrol dengan lebih serius, juga memikirkan masa depan dan dengan berbagai pertimbangan lain, akhirnya Rafa setuju. Ia akan ikut pulang ke rumah Papanya yang ada di luar negeri.

Bian juga sudah rela, ini demi kebaikan bersama. Kebaikan Rafa yang terpenting. Rafa akan aman bersama keluarganya. Bukankah semua akan lebih mudah jika bersama wali anak itu.

Jadi malam ini, Rafa akhirnya bersedia mengemas barang-barangnya untuk ia bawa. Dibantu Bian, Rafa mulai melipat dan memasukkan pakaian dan barang-barang lain ke dalam koper yang Opahnya bawakan. Sementara Pak Wijaya sendiri memilih menunggu di ruang tengah, menikmati teh hangat yang dibuatkan oleh Bian sambil menonton televisi.

"Bian, nanti kalo gue di sananya lama gimana?" ucap Rafa tiba-tiba bertanya.

Bian menoleh, "ya nggak gimana-gimana. Sekolah yang bener, jadi anak baik, yang nurut sama orangtua. Pulang-pulang lo harus punya gelar, Raf, nggak mau tau gue."

Rafa merengut mendengarnya, "kok lo nuntut sih. Gue lagi sedih nih, malah dibikin tambah sedih ah lo mah."

"Lah, kenapa sedih? Lo kan mau ke luar negeri, harusnya seneng. Gue nih, pengen ke luar negeri aja belum kesampean."

"Kalo gitu lo ikut aja!" ujar Rafa tiba-tiba bersemangat.

"Yang bener aja?! Maksud gue tuh rencana liburan gue yang mau ke luar negeri tapi belum kesampean juga. Mana ada tinggal disana, ogah."

"Ah, tuh kan! Lo aja ogah tinggal di luar negeri. Ya sama, gue juga."

Bian menggaruk pelipisnya bingung, bukan begitu maksudnya.

"Rafa, lo itu mau pulang ke rumah Papa lo, bukan mau diculik. Yang nurut aja kenapa sih?"

"Di rumah sepi, karena gue nggak punya temen. Apalagi disana, lebih sepi lagi. Dulu selama tinggal disana juga nggak punya temen, ya sekarang tetep sama."

"Makanya nyari temen."

"Udah lah, nggak guna dilanjutin curhat."

Bian terkekeh, ia lanjut melipat baju Rafa. "Beneran Raf, disana jaga diri baik-baik ya. Jadi anak baik, yang nurut sama orangtua. Opah tau lo sakit, masalah makan lo juga udah tau. Jadi kalo nggak mau tambah sakit, yang nurut sama Opah juga."

Rafa hanya mengangguk, ia sedang berusaha menahan air matanya keluar. Sebentar lagi ia akan pergi, berpisah dengan Bian. Padahal belum ada setahun ia bersama Bian, tapi ia merasa sudah sangat dekat dan nyaman dengan Bian, juga orang-orang di sekitarnya.

"Jangan nangis dong, ntar gue ikutan nangis nih," ucap Bian tertawa dengan raut sedih melihat Rafa yang berusaha menahan tangisnya.

"Jangan gitu! Gue nangis beneran nih." Rafa akhirnya benar-benar menangis, air matanya tak bisa lagi dibendung.

Bian terkekeh, lalu menarik anak itu ke dalam pelukannya. Ia juga sedih, meskipun ia bilang ia sudah rela, tapi hatinya tetap sakit menghadapi perpisahan ini.

"Nggak Papa ya, nanti kita ketemu lagi. Lo harus sukses dulu, ya minimal punya gelar lah."

"Kok make syarat?! Kelamaan!"

Bian tertawa, "yaudah, intinya lo sekolah yang bener dulu. Yang jelas lo harus lulus SMA dulu, nggak kelar-kelar tuh pindah-pindah mulu."

Rafa menepuk pundak Bian, "jangan ngeledek."

Bian melepas pelukannya lebih dulu, ia ingin mengatakan sesuatu.

"Selain yang gue bilang tadi, lo harus tau juga kalo gue sayang sama lo, Raf. Lo udah gue anggap jadi adek gue sendiri, makanya gue sedih kalo harus pisah sama lo. Tapi gue bakal lebih sedih dan kecewa kalo lo nggak mau ikut Papa lo dan malah nahan lo disini sama gue. Ini yang terbaik, Raf. Dan satu hal lagi, gue nggak nyesel udah nolongin lo waktu itu, justru gue bersyukur udah dipertemukan sama lo."

Just Here ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang