Part 3

8.2K 775 60
                                    

Happy reading..

---

Setengah jam setelah dipindahkan ke ruang rawat, Rafa terbangun. Ia menyipitkan matanya beberapa kali saat pandangannya buram dan mengabur. Setelah ia mendapatkan kembali penglihatannya, ia mengarahkan pandangannya itu ke seluruh sudut ruangan. Jelas ia tau dimana ia berada sekarang. Pasti salah satu kamar di sebuah rumah sakit. Apalagi, kini pakaiannya itu telah berganti dengan piyama rumah sakit berwarna putih dengan corak bunga.

"Kenapa gue bisa disini?! Nggak bener nih! Gue harus pergi dari sini." Rafa bergerak cepat, bangun dari ranjang dan menyibak selimut yang menutupinya. Ia berniat untuk turun dari ranjang.

Nemun belum juga kakinya itu menyentuh lantai, suara dari arah pintu kamar rawatnya lebih dulu menghentikannya.

"Heh! Mau ngapain lo?! Mau kabur lagi?!"

Itu suara Bian yang memasuki kamar anak itu dan segera duduk di kursi di samping ranjang.

Rafa menoleh, lalu menghela nafas kasar saat yang ia lihat adalah orang yang kemarin. Orang itu lagi, pikirnya.

"Ck, lo lagi ternyata. Siapa sih lo?! Jangan-jangan lo juga yang bawa gue kesini?!" sergahnya.

"Iyalah, siapa lagi. Emang lo bisa gitu sleep walking nyampe rumah sakit?! Dan siapa gue? Gue dokter disini," balas Bian.

"Dokter? Hahah masa, nggak percaya. Mana ada dokter make kaos oblong gitu, celana pendek, rambut awut-awutan nggak jelas kayak kena tornado. Dari sisi mana gue bisa percaya lo itu dokter? Ada-ada aja," ujar Rafa tak percaya dengan nada meremehkan.

"Wah, sembarangan lo kalo ngomong. Tapi bodoamat kalo lo nggak percaya juga. Dan yah, harusnya lo bersyukur udah gue bawa lo ke rumah sakit. Ucapin makasih kek, gue nggak minta uang ganti kok," balas Bian.

"Justru gue pengen marah sama lo! Kenapa lo bawa gue ke rumah sakit coba?! Ah, gue mau pulang," Rafka berniat untuk turun dari ranjang lagi, namun langsung ditahan oleh Bian.

"Heh, nggak boleh pulang dulu! Lo perlu dirawat. Lambung lo itu luka, kapan terakhir lo makan coba? Lambung udah payah, nggak dikasih makan, mau jadi apa itu lambung lo nanti?!"

"Iya gue tau, tau banget malah. Tapi plis, bawa gue keluar dari sini, gue nggak mau disini. Ayolah, tolong gue," raut muka Rafa menyendu.

"Kenapa sih? Udah anteng aja lo disini, lo itu harus dirawat dulu buat pemeriksaan. Lagian, lo itu sebenarnya siapa dan kenapa? Kenapa malem itu lo luntang-lantung di jalanan kayak nggak ada tujuan yang jelas," ini kesempatan Bian untuk menanyakan beberapa hal yang sejak kemarin mengganggunya.

"Gue Rafa dan lo udah tau itu. Jadi plis, keluarin gue dari sini. Makasih deh, karena lo udah mau bantu gue, maaf juga ngerepotin. Tapi sekali lagi bantuin gue, bantu gue keluar dari sini."

"Hah, lo dateng dari mana aja gue nggak tau, rumah lo apalagi."

"Bawa gue ke manapun, terserah lo lah yang penting jangan rumah sakit."

"Kenapa emangnya?"

Anak bernama Rafa itu menggeleng, "keluar dulu plis, bawa gue keluar dari sini."

Bian menatap heran, anak itu terkesan seperti menghindari obrolan tentang alasannya ingin keluar dari rumah sakit.

"Nggak bisa Rafa. Kondisi lo tuh masih belum bisa buat keluar dari sini. Lo butuh perawatan dulu," ucap Bian masih mencoba memberi pengertian.

"Ck, tolong gue pliis.. Hikss,, gue nggak mau disini.. Bawa gue pergi.."

Bian tertegun, anak di depannya kini menangis. Ia tak tega melihat air mata anak itu kini berlomba-lomba untuk menetes. Apa setakut itu dia dengan rumah sakit, pikirnya.

"Oke oke, tenang dulu jangan nangis. Gini aja, lo kan juga baru bangun, kita pulang nanti aja ya? Sekalian nunggu infus lo habis dulu."

Rafa tak menjawab, bahkan tak menolak saat Bian mendekat duduk di ranjangnya dan meraih badannya ke dalam dekapannya. Bian mengusap lembut punggung dan kepala Rafa, berharap bisa menenangkan anak itu. Ah, bahkan mereka tak saling mengenal.

Hingga beberapa menit kemudian, terdengar deru nafas teratur dari Rafa yang ternyata tertidur dipelukan Bian.

"Lah, tadi aja mewek, udah tidur aja nih bocah," lirih Bian.

Lalu, beberapa detik setelahnya, pintu kamar rawat Rafa terbuka. Menampilkan seorang dokter dan suster yang mengikuti di belakangnya.

"Loh, Dokter Bian? Kenapa ada disini?" tanya dokter itu yang nampaknya kaget melihat Bian.

"Eh, Dokter Andi? Dokter yang nanganin Rafa?" tanya Bian balik.

"Iya, kenapa dengan pasien?"

"Oh, nggak papa dok, tadi abis nangis. Oh iya dokter, saya wali pasien ini dok."

"Oh, begitu. Maaf sebelumnya, bisa saya periksa pasien terlebih dahulu?"

"Iya dok, silahkan." Bian segera menidurkan Rafa kembali di ranjang, membiarkan Dokter Andi dan susternya itu memeriksa Rafa.

"Jadi gimana dok?"

"Yah, seperti yang kamu tau sendiri Bi, kondisinya masih kurang baik. Lambungnya itu luka, apa dia nggak pernah makan Bi?"

"Saya juga kurang tau dok, Rafa baru sama saya dari tadi malam."

"Loh, kok?"

"Jadi begini dok. Sepulang saya dari rumah sakit kemarin malam, saya liat ada kerumunan yang ternyata ngerumunin anak ini. Pas saya bawa pulang ya, kondisinya memang enggak baik terus ditambah demam. Demamnya sempat turun, tapi tadi naik lagi makanya saya bawa kesini," jelas Bian.

"Ooh, ya sudah kalo gitu, biarkan dia istirahat dulu. Mungkin akan dirawat inap beberapa hari kedepan Bi," ucap Dokter Andi yang sudah sangat akrab dengan Bian.

"Nah, ini yang mau saya tanyain dok. Jadi, tadi Rafa nangis minta pulang. Iya, saya tau kalo kondisinya memang nggak bagus. Tapi kalo saya liat dari muka dia, cara dia ngomong, Rafa kayak ada trauma gitu dok di rumah sakit. Makanya dia kaya yang nggak nyaman gitu disini."

"Tapi Bi, mengingat kondisinya lagi, Rafa belum bisa dibawa pulang untuk saat ini. Saya tau, mungkin kamu juga bisa rawat dia sendiri. Tapi untuk saat ini, enggak bisa Bi, dia butuh perawatan intensif disini."

"Iya saya paham. Tapi bukannya perasaan atau bahkan mental pasien juga bisa berpengaruh pada kondisi pasien dok? Rafa tertekan dok, disini. Mungkin dia bisa lebih baik jika dibawa pulang. Setidaknya, membuatnya nyaman dengan keluar dari rumah sakit. Kita bisa rawat jalan kan dok," jelas Bian meyakinkan Dokter Andi.

Dokter Andi diam, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika ia mengizinkannya. Ucapan Bian itu ada benarnya.

"Baiklah, kita tunggu sampai infusnya habis dulu nanti sore atau malam. Jika kondisinya tidak memungkinkan, saya tidak bisa memberi izin Bi," putus Dokter Andi akhirnya.

"Ah, iya dok, terimakasih," Bian tersenyum seraya menjabat tangan dokter seniornya itu.

"Sama-sama. Saya permisi kalau begitu," pamit Dokter Andi sebelum keluar kamar rawat Rafa, diikuti oleh sister tadi.

Bian lega, masih ada kemungkinan untuk Rafa bisa diperbolehkan pulang.

Bian kembali menghadap Rafa, anak itu masih pulas terlelap. Ada gurat lelah di wajahnya. Mungkinkah sebelum ini merupakan hari yang berat bagi anak itu? Ah, entah kenapa, ia merasa sesimpati ini pada Rafa. Karena meskipun ia seorang dokter yang dituntut untuk harus simpati pada siapapun, tapi ia belum pernah seperti ini sebelumnya.

Tapi, biarlah ini mengalir sebagaimana mestinya.

---

Sampai jumpa di part selanjutnya..
Makasih udah baca ya..♡

Purbalingga, 20 Juli 2020
Re: 22 Desember 2021
Zaky_mai 💕

Just Here ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang