Tiga Puluh Empat

1.3K 170 7
                                    

Assalamu'alaikum teman-teman. Selamat tahun baru islam yaa❤🎉🎊🎆🎇 semoga di tahun ini kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan semoga selalu dalam rahmat Allah SWT. Aamiin. Jangan lupa baca doa awal tahun yaa.

Mohon maaf atas keterlambatan update🙏 Silahkan dibaca-baca lagi bab sebelumnya ya, takutnya lupa ... ehehehe😁✌

Tandai typo ya guys!

Happy Reading♡♡

-T i g a P u l u h E m p a t-

🍁🍁🍁

Ada berbagai cara Allah mengabulkan doa hambanya. Termasuk jalan berliku yang kini sedang ku tempuh. Aku percaya, doaku sedang melangit untuk membumi pada saat yang tepat.

🍁🍁🍁

"Kalau aja mommy gak ada jadwal seminar sudah pasti mommy ikut kamu ke Jakarta. Lagian ya, kenapa gak bilang dari kemarin-kemarin biar mommy bisa ikut juga. Atau jangan-jangan kamu sengaja gak ngasih tahu. Zayn, apa sih yang kamu sembunyiin dari mommy?" omel Elin untuk yang ke sekian kalinya.

"Ich habe daddy schon davon erzählt. Hat daddy es dir nicht gesagt? [Aku sudah kasih tahu daddy tentang ini kemarin. Daddy gak bilang sama mommy?]. Gak ada kok, gak ada yang aku sembunyikan dari mommy. Mana mungkin aku berani bohong?"

"Nein, Papa hat mir nichts erzählt [Engga kok, daddy gak bilang apa-apa] Atau mommy perlu ke situ sekarang? Apa aja yang udah kamu siapkan? Besok pagi, kan? Mommy udah telepon Aunty Anne sama Om Gio, mereka bilang siap jemput kamu di Jakarta. Kamu tinggal di rumah mereka aja kalau gitu."

"Gak usah, mommy. Rumah Om Gio kan jauh dari Bandara Soekarno Hatta jadi itu pasti merepotkan, lagipula aku bukan anak kecil yang harus di jemput seperti itu."

Adam hampir tertawa mendengar rentetan pertanyaan dengan nada bicara khas seperti ibu-ibu yang khawatir anaknya tersesat saat nanti piknik taman kanak-kanak. Adam bahkan sering kali merasa kalau perlakuan Elin kepadanya itu berlebihan, akan tetapi ia harus sadar bahwa itulah cara Elin mencurahkan rasa sayangnya pada Adam.

Keputusan Adam untuk terbang ke Indonesia besok pagi mengejutkan Elin yang sering kali khawatir kalau Adam belum sanggup untuk melawan traumanya di Indonesia. Tapi karena Adam yang terus meyakinkan bahwa ia sanggup, maka Elin mau tidak mau mengizinkan Adam pergi ke Indonesia.

"Aku udah dewasa. Mommy gak perlu khawatir," ujar Adam cepat sebelum kalimat kekhawatiran lainnya itu akan Adam dengar.

Elin terdengar menghela napas berat. Baginya, Adam tak pernah menjadi dewasa dan tetap menjadi anak remaja yang membutuhkan perhatian lebih darinya. "Okay. Take care, Zayn. You know how much i love you!"

"Ya. I love you more!"

Setelah memutus sambungan telepon, Adam kembali diam. Kemudian duduk mengistirahatkan punggungnya di atas kursi kerja yang ia simpan menghadap balkon, satu-satunya tempat kesukaannya di apartemen ini.

Perihal meyakinkan ibunya, sama seperti meyakinkan dirinya untuk segera menemukan penggalan kenangan di tanah air. Adam ingin segera bertemu siapapun yang pernah ia temui di masa lalu dan segera menemukan penggalan memori yang lama terlupakan. Kalaupun tidak ada hal baru yang ia ingat, minimal ia bisa bertemu dengan teman lama dan bersilaturahmi, sebelum nanti ia akan benar-benar melupakan semua hal menyangkut mereka.

Malam ini Adam enggan menutup matanya. Ia lebih suka terjaga, menatap sinar rembulan yang diam-diam mengintip di balik tirai abu-abunya. Atau menikmati cahaya pendar dari gedung-gedung yang menjulang, yang tekadang membuat penat. Atau meneliti riak hitam Sungai Main di bawah sana dengan semburat pantulan cahaya.

Naungan Langit Negeri Hitler [On Going]Where stories live. Discover now