Empat Puluh

1.4K 216 31
                                    

-E m p a t P u l u h-

🍁🍁🍁

Kutitipkan rindu pada setiap kalamullah yang kulafalkan hari ini, di samping gundukan tanah yang menjadi penghalang di antara ragamu dan ragaku.

🍁🍁🍁

Hari ini, Andre mengantar Adam untuk berziarah ke makam Angga di Depok. Sebenarnya Andre sudah mengusulkan untuk berangkat lusa saja karena Andre ingin Adam beristirahat dulu hari ini. Tetapi karena Adam yang memaksa, berakhirlah mereka disini. Di depan gerbang salah satu pemakaman keluarga di Depok.

Adam seperti enggan melangkah saat Andre menunjukkan letak makam Angga. Adam bukan tak mau menemuinya, hanya saja ia terlalu kalut sekarang. Kenyataan seolah sedang menamparnya, menyadarkan Adam bahwa Angga yang seharusnya ia temui di dunia memang sudah tiada. 

Ini tentu saja bukan harapan Adam dan jauh dari bayangannya bahwa ia akan berhadapan dengan Angga dalam keadaan seperti sekarang. Adam bahkan masih tak percaya saat nama Anggara Naufal tertulis nyata dalam batu nisan dihadapannya. 

Andre mempersilahkan Adam untuk memimpin doa, ia ingin menghargai Adam atas pertemuannya dengan Angga untuk yang pertama kali setelah tujuh tahun lamanya, dan tentu saja Andre ingin menunjukkan pada Angga bahwa ia membawa sahabat lama mereka yaitu Adam. 

Semakin lama doa yang Adam lafalkan semakin terdengar serak lalu terdengar berbisik, bahkan surat alfatihah pun tak sanggup ia selesaikan. Laki-laki berkemeja hitam itu perlahan menunduk dan membenamkan wajahnya di atas kedua telapak tangannya yang tebuka. Kedua bahu kokohnya bergetar menahan tangis yang seharusnya tak boleh turun. Tanpa menoleh ke arah Adam, Andre menepuk pelan punggung sahabatnya itu. Ia merasakan hal yang sama dengan Adam. Rindu atas kehilangan yang menyesakkan.

Adam menarik napas dalam untuk meredam rasa sedihnya dan untuk menarik air matanya agar tidak jatuh (lagi) karena Adam tahu apa hukumnya menangisi seseorang yang telah tiada. Seakan ada beribu jarum yang menyerbu hati Adam saat ia mengkhususkan doa untuk Angga dan saat ia meyakinkan dirinya bahwa ia ikhlas. Hanya saja, kadang rasa ikhlas selalu diikuti pilu dan rindu hingga tak penah sadar bahwa tak ada satupun di dunia ini yang benar-benar milik kita. 

"Sorry, Ga. Aku terlambat datang ke sini," serak Adam seraya mengelus nama Angga pada batu nisan di depannya.

Adam menunduk hingga dahinya menyetuh batu nisan. Ia menyesal, sangat menyesal sebab terlambat bertemu Angga, dan menyesal karena keegoisannya selama ini yang hanya memikirkan bagaimana dan seperti apa kelanjutan ingatan masa lalunya tanpa pernah memikirkan bagaimana keadaan sahabatnya saat ini.

Namun, belum ada satu kalimatpun setelahnya yang Adam ucapkan. Laki-laki itu hanya diam dengan mata merah yang berkaca-kaca juga tangan kanan yang tak hentinya mengelus batu nisan. Ingatan Adam berputar pada mimpi tentang hari kecelakaannya dimana Angga yang menggenggam tangannya erat saat ia di dorong petugas kesehatan di atas brankar kala itu. Angga juga yang saat itu menyeka darah yang mengucur menutupi matanya dan mungkin saat itulah Adam terakhir kali melihat wajah Angga.

Adam kembali memejamkan mata, gejolak rasa kehilangan yang ia rasakan begitu mengerat dalam dada. Sambil memejamkan mata, ia kembali membuka kedua telapak tangannya guna memanjatkan kalamullah pada Maha Pemilik Semesta untuk menjaga sahabatnya sebaik mungkin. 

"Ga, aku gak bisa janji kapan tepatnya aku akan datang menemui kamu kesini lagi. Tapi aku bisa pastikan, selama aku mampu, doa aku untuk kamu gak akan pernah putus," gumam Adam setelah lebih tegar. 

Naungan Langit Negeri Hitler [On Going]Where stories live. Discover now