Tiga Puluh Lima

1.3K 181 18
                                    

-T i g a P u l u h L i m a-

🍁🍁🍁

Asa yang tergantung diatas riak fatamorgana. Asa yang berdiri tegak diatas setitik keyakinan dan kembali mendorong atma untuk terus menyuarakannya.

🍁🍁🍁

Langit bumi pertiwi memang tampak sedang muram tepat seperti perkiraan cuaca yang tadi Adam baca saat sedang transit di Amsterdam, Belanda. Namun temperatur Jakarta yang Adam kira akan lebih dingin ternyata salah. Suhu pagi yang mencapai sekitar 21 derajat Celcious cukup mengejutkan tubuh Adam yang semula terbiasa dengan musim dingin Negeri Hitler. Baju hangat yang semula melekat di tubuhnya pun kini sudah tersampir indah ditangan kirinya, sedangkan tangan kanan ia gunakan untuk menarik koper hitam.

Kalimat syukur sudah Adam lafalkan sejak pramugari memberikan pemberitahuan bahwa pesawat sebentar lagi akan mendarat pada pukul 6.55. Untuk beberapa saat setelah Adam turun dari pesawat yang membawanya sampai di Bandara Internasional Soekarno Hatta ini, Adam hanya mampu diam dengan degup jantung yang bertalu tak karuan saat merasakan angin hangat tanah air di pagi hari yang menyambutnya. Ternyata, bukan hanya gugup yang sejak tadi merajai hatinya, tapi ada setitik rindu akan tanah kelahirannya ini yang juga baru Adam sadari.

Perjalanan Frankfurt-Jakarta yang menghabiskan waktu kurang lebih 19 jam termasuk transit di Amsterdam selama 3 jam, cukup membuatnya lelah meski lebih banyak duduk. Jadi Adam memutuskan untuk beristirahat dan sarapan sebentar di sebuah coffe shop bandara ini.

Setelah memesan satu cangkir hot caffe americano dan beef filone untuk menu sarapannya, Adam memilih duduk di sudut ruangan dekat jendela dengan alasan agar ia bisa melihat bagaimana sibuknya bandara ini yang sekitar 7 tahun tidak ia singgahi.

Kegiatan melamun dan menyesap kopi yang baru saja Adam lakukan sekitar lima belas menit, sudah terusik dengan hadirnya seorang anak laki-laki yang menarik-narik bajunya meminta perhatian.

"Om, boleh tolong ambilkan mobil-mobilan aku di situ?" tanyanya seraya menunjuk mobil-mobilan berwarna biru yang berada di bawah kursi yang Adam duduki.

Adam sedikit terkejut lalu tak lama kemudian ia berdiri dan menggeser kursinya untuk mengambil mainan anak itu.

Baru saja Adam hendak memberikan mainan yang berhasil ia ambil dari bawah kursi, seorang ibu tergopoh-gopoh menemui mereka.

"Vio, bunda sama ayah bilang apa tadi? Jangan kemana-mana!" seloroh sang ibu sambil mencubit pelan lengan anak itu.

"Tapi Vio cuma mau minta tolong sama om ini buat ambilin mainan Vio yang masuk kesitu." Anak bernama Vio itu tak mau kalah, ia cemberut sebab tidak suka dengan penuturan ibunya barusan.

"Makanya, bunda bilang jangan dimainin sekarang mobil-mobilannya. Jadi masuk ke situ, kan?"

Vio masih cemberut lalu mengambil mainannya dari tangan Adam dengan cepat. Kemudian berlari menuju meja yang tadi ia dan ibunya tempati. Sedangkan Adam hanya diam mengamati interaksi dua orang dengan usia berbeda yang berbicara dalam Bahasa Indonesia yang terlampau fasih seolah ingin kembali meyakinkan bahwa Adam telah sampai di Jakarta.

"Aduh maaf sudah mengganggu. Vio anaknya memang gak mau diam jadi--" perempuan kerudung merah muda itu tidak melanjutkan kalimatnya. Ia nampak terdiam menatap lekat pada Adam dengan mata yang sedikit melebar.

"A-dam?" gumamnya hampir tidak terdengar.

"W-wha-what?" Adam lantas menaikkan kedua alisnya seraya tergagap. Ia sedikit terkejut atas apa yang baru saja telingnya dengar.

Naungan Langit Negeri Hitler [On Going]Where stories live. Discover now