Dua Puluh Dua

1.5K 181 75
                                    

Happy reading! Jangan lupa vote dan komentar yaa. Danke schön❤

-D u a P u l u h D u a-

🍁🍁🍁

Aku tak ingin kau lindungi atas nama cinta. Sebab itu menyesatkan. Lindungi aku atas nama Penciptaku. Sebab Ia tahu apa yang semestinya kau pertahankan.

🍁🍁🍁

"Jalan ke apartemenku bukan kesini, Fabian. Tadi terlewat." Fahira memberanikan diri membuka suara atas ketakutan yang kini menyeruak dalam dadanya.

"Aku tahu. Jadi mohon tenang, jangan banyak bicara," jawab Fabian dengan mata yang menatap lurus kedepan. Laki-laki itu tampak tidak peduli dengan suara klakson pengendara mobil lain yang bersahutan sebab mobilnya meliuk-liuk mendahului.

Sedikitpun Fahira tidak bisa merasakan ketenangan, yang ada hanya gemuruh jantungnya serta bayangan-bayangan buruk yang bisa saja menimpanya.

"Tapi-"

"Aku lagi fokus, Fahira. Kita sedang di ikuti," sahut Fabian cepat. Ia membenarkan posisi kaca spion dalam di atas dashboard agar Fahira bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi. Fahira mendongak menatap pantulan mobil hitam di belakang yang sedang berusaha menyejajarkan dengan mobil Fabian.

Fahira bungkam lalu kembali mengeratkan pelukannya pada Sienna. Gadis kecil itu masih terlelap sekalipun Fahira peluk sekuat tenaga demi menyalurkan rasa takut. Jantung Fahira terpacu dua kali lipat lebih kencang saat mendengar seorang penyebrang menjerit di luar sana karena Fabian menerobos lampu merah. Fabian tidak peduli ia terus menginjak pedal gas dalam-dalam hingga kuda besinya melesat membelah jalanan hitam.

"I-itu tadi ada kantor polisi. Siapa tahu bisa membantu," saran Fahira ketika matanya melihat kantor polisi sekilas karena kecepatan mobil yang membuat bangunan itu sudah jauh tertinggal.

"Percuma," tegas Fabian. Menurut Fabian, masalahnya tidak sesederhana itu untuk sekedar berbelok ke kantor polisi dan mengatakan bahwa ada mobil lain yang mengikuti.

"Fabian, turunkan aku di pemberhentian depan. Aku gak kuat," desis Fahira dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ia takut, tak sanggup lagi rasanya jika terus menerus dalam keadaan seperti ini. Kecepatan mobil Fabian begitu menyiksanya.

"Sei nicht verrückt, Fahira [jangan gila, Fahira]. Aku juga sedang berusaha ... jangan menambah kepanikan. Tolong tenang, aku akan melindungi kamu dan Sienna."

Air mata Fahira lolos begitu saja melewati pipi mulusnya. Fabian tidak membentaknya, tidak juga menatapnya dengan tatapan nyalang. Hanya saja, perkataan barusan terdengar janggal di telinganya. Kalimat terakhir itu seharusnya menenangkan. Namun Fahira tidak merasakannya, ia lebih merasa tidak menyangka Fabian mampu melontarkan kalimat tajam yang sedikit melukai hatinya. Entahlah, sejak kapan Fahira bisa sesensitif ini.

Fabian menginjak rem tiba-tiba. Hampir saja dahi Fahira membentur dashboard jika saja ia tidak memegang kuat sabuk pengamannya. Fabian melihat kaca spion kiri dan kanan untuk memastikan bahwa mobil hitam tadi tertinggal di belakang sana. Ia menghela napas lega ketika mengetahui semuanya lebih aman.

"Kamu tinggal disini malam ini," ujar Fabian sambil bersiap-siap turun dari mobilnya. "Ayo turun," pinta Fabian setelah membuka pintu mobil untuk Fahira.

Mau tidak mau Fahira turun dari mobil dan mengedarkan pandangannya pada tempat asing ini. Ini bukan gedung apartemen melainkan hotel. Fabian memilih hotel ini untuk di jadikan tempat persembunyian sementara yang menurutnya lebih aman daripada rumah atau penthousenya di Hamburg.

Naungan Langit Negeri Hitler [On Going]Where stories live. Discover now