Empat Puluh Dua

3.1K 354 123
                                    

- E m p a t P u l u h D u a -

🍁🍁🍁

Aku tidak ingin berjuang sendiri atas rasa yang memang di luar cakrawala kita sejak lama. Aku memilih berhenti memupuk rasa yang kupanen menjadi luka. Cukup sampai disini, sebab perihal kita, kukira tak mungkin berubah nyata.

🍁🍁🍁

"Mama will be fine, sayang. Cenna tunggu sama Aunty Christine dulu, ya. Aunty Emy harus ketemu sama dokternya dulu sekarang," ujar Emy sambil menyerahkan Sienna yang baru saja selesai menangis ke atas pangkuan Christine.

Tadi Emy baru di telepon Christine saat Fahira sudah di rumah sakit karena ia memang sedang ada persiapan acara di kampusnya hingga besok. Saat diberitahu oleh Christine, Emy tentu saja terkejut karena saat tadi pagi Fahira terlihat sehat. Kalaupun Emy tahu Fahira sakit, ia mungkin tidak akan meninggalkannya untuk pergi ke kampus.

Dokter bilang asam lambung Fahira sedang naik hingga menyebabkan pusing dan akhirnya pingsan. Ada banyak penyebab mengapa asam lambung kerap naik atau kambuh, akan tetapi pada kasus seperti Fahira, dokter mengatakan bahwa Fahira seringkali terlambat untuk makan kemudian sering mengonsumsi kopi dan penyebab utamanya adalah gangguan pikiran atau stres sehingga tubuh kurang istirahat.*

"Sienna mana?" bisik Fahira setelah ditemui Emy diruangan rawat.

"Ada, dia lagi sama Christine. Bentar lagi juga kesini kok." Emy kemudian membetulkan selimut Fahira.

"My, gue boleh pulang sekarang, kan? Gue mau istirahat dirumah aja."

Emy menghela napas panjang. "Gak bisa, Fa. Istirahatnya disini aja biar ke kontrol perkembangannya. Lagian suruh siapa sih banyak pikiran? Gue kan udah bilang, jangan dipendem sendirian. Bilang ke gue, lo ada masalah apa? Terus jangan terlambat makan, istirahat juga yang cukup, lo bukan robot, Fa. Gue gak suka lihat lo sakit begini," omel Emy dengan mata yang berkaca-kaca. Melihat Fahira yang berbaring seperti ini, hatinya terasa sakit. Ia bukan orang bodoh yang memilih menutup telinga atas segala masalah Fahira dengan Fabian.

Emy ingin sekali menasihati sahabatnya itu untuk secepatnya memutuskan keputusan pasti untuk Fabian, atau bahkan Emy siap untuk sekadar memberi tahu Fabian langsung bahwa hubungan yang akan Fabian jalani dengan Fahira tak akan pernah menemukan kebahagian kalau seperti ini caranya. Agar laki-laki itu tidak terus menerus ada di sekelilingnya, agar Panji juga tidak ikut campur, agar hidup sahabatnya kembali tenang seperti semula. Tapi Emy cukup tahu diri, ia tidak ingin terlalu jauh melangkah atas hubungan yang sahabatnya miliki sebab bagaimanapun ia tidak berhak mengatur apapun yang berurusan dengan hati.

Fahira memalingkan wajahnya, ia tidak ingin Emy melihat air matanya yang sudah jatuh membasahi bantal yang sedang ia gunakan. "Maaf—"

"Jangan minta maaf. Gue tahu, bukan lo yang salah. Bukan lo juga yang mau banyak pikiran, kan?" Emy menggengam tangan Fahira yang membuat sahabatnya itu kian terisak.

"Mama ..." teriak Sienna memecahkan keheningan dari ambang pintu ruangan. Anak itu kemudian berlari ke arah Fahira untuk memeluknya. "Cenna takut, takut mama gak bangun lagi," imbuhnya kemudian.

Fahira mengelus pipi gembil Sienna lalu menatap bola mata jernih yang jelas memperlihatkan kekhawatirannya disana.

"Mama sehat kok sekarang." Fahira memaksa senyum padahal jauh dalam hatinya ia ingin kembali menangis. Anak kecil ini begitu takut kehilangannya, sedangkan ia pernah ingin memilih bertahan di tepi jurang yang membahayakannya hanya karena tidak bisa memilih jalan yang terbaik untuk langkah selanjutnya.

Naungan Langit Negeri Hitler [On Going]Where stories live. Discover now