Empat Puluh Satu

1.7K 199 47
                                    

Man temannn ... mohon maaf tadi aku salah update huhuu kaget tiba-tiba malah langsung ke up part  empat puluh satu ini dong. Jadi part ini tadi sempat aku unpublish meskipun mungkin dari teman-teman sudah ada yang baca :( maaf yaa. 

Sekarang aku sudah perbaiki dan sudah publish part sebelumnya yaitu part 40 dan part 41 ini aku publish ulang agar di teman-teman nanti partnya masih tetap berurutan. Sekali lagi mohon maaf yaa.

Teman-teman boleh baca lagi part 40, baru baca part 41 ini.

Terima kasihh

HAPPY READING

Mohon tandai typo. Danke!

- E m p a t P u l u h S a t u -

🍁🍁🍁

Bolehkah aku sedikit berdamai dengan hati? Menghargai kejujurannya, mengikuti keinginannya, dan tentu saja membiarkan ia melangkah sejauh yang ia mampu.

🍁🍁🍁

Rencana Adam untuk tinggal 2 minggu di Indonesia terpaksa harus gagal. Tepat setelah salat magrib tadi, ponselnya dihujani belasan panggilan tak terjawab dan pesan dari sesama rekan dokter pediatri[1] yang berisikan ia harus segera pulang ke Jerman secepatnya karena cucu direktur rumah sakit yang pernah menjadi pasiennya baru saja kecelakaan dan menderita penyakit Pneumotoraks[2] akibat tulang rusuk pasien yang patah.

Orang tua pasien yang notabene adalah anak dan menantu dari direktur rumah sakit tempat Adam bekerja, menginginkan Adam terlibat dalam segala tindakan untuk anaknya dengan alasan mereka hanya memercayai Adam sepenuhnya dan ingin Adam yang kembali menanganinya. Adam tentu tidak menyanggupi keinginan orang tua pasien dan sang direktur, karena ia sedang ada di Indonesia. Merupakan hal mustahil pula jika adam dapat sampai di Jerman secepatnya sebab jarak Jakarta – Frankfurt bukan jarak yang bisa ditempuh dalam waktu satu atau dua jam, sedangkan pasien tentu saja membutuhkan pertolongannya secepat mungkin.

Setelah ia berbicara baik-baik dan meminta maaf langsung pada direkturnya dan juga orang tua pasien, akhirnya mereka setuju untuk melakukan tindakan terlebih dahulu demi keselamatan putra kecilnya. Akan tetapi mereka tetap memaksa Adam untuk bersedia menjadi dokter yang akan menangani putra kecilnya itu di perawatan intensif pasca operasi nanti. Sang direktur bahkan baru saja mengirimkan tiket pesawat serta bukti pembeliannya untuk Adam pulang ke Jerman malam ini. Adam tidak bisa menolak, dan terpaksa pukul 00.25 malam ini ia harus ikut penerbangan dari Jakarta menuju Frankfurt.

"Dam , serius?" tanya Andre dengan suara lemas saat melihat Adam memasukkan barang-barangnya ke dalam koper.

Adam bahkan tak ingin menjawab. Ia sama lemasnya dengan Andre. Hatinya masih ingin tinggal di Indonesia sebab masih banyak hal yang perlu ia lakukan di tanah air ini. Rindunya juga belum sepenuhnya terobati, bahkan seperempatnya pun belum.

"Kita baru ketemu tiga hari loh, Dam. Masa udah mau jauhan lagi? Lo gak kasian ke gue? Kangen gue ke lo selama bertahun-tahun cuma dibayar tiga hari doang?" Andre mendudukkan tubuhnya dengan lemas di atas tempat tidur. "Kita bakal ketemu lagi kapan?"

Adam menghentikan kegiatannya lalu menghela napas sedalam mungkin untuk menenangkan dirinya sendiri yang memang tidak tahu kapan akan bertemu lagi dengan Andre. "Kita masih bisa ketemu kok, Dre. Aku pasti ke sini lagi atau kamu yang harus ke Jerman. Kita pasti ketemu lagi kok. Chill, bro. Teknologi udah maju sekarang, kita bisa video call kalau kangen."

Naungan Langit Negeri Hitler [On Going]Where stories live. Discover now