Dua Puluh Enam

1.4K 178 50
                                    

Assalamu'alaikum teman-teman fillah🙌
Apa kabar? Semoga sehat selalu yaa.
Mohon maaf aku lama update karena aku belum bisa membagi waktu😭 kulyeah onlen begitu menyita waktuku😭
Terima kasih sudah mau menunggu dan menemani aku hingga sejauh ini❤❤
I'm grateful to have you guys!❤
Disarankan untuk membaca part sebelumnya karena dikhawatirkan lupa hehe..

Happy Reading, dear!❤

-D u a P u l u h E n a m-

🍁🍁🍁

Seharusnya, kau tak perlu berpura-pura tegar melawan angin, sebab semesta tahu betapa rapuhnya jiwa yang telah lama terkikis rindu.

🍁🍁🍁

"Es ist okay. Enschuldige dich nicht. Aber ... könnte es sein, das wir uns schon einmal getroffen haben, außer in Siennas Schule? [Tidak apa-apa, tidak usah minta maaf. Tapi ... mungkinkah kita pernah bertemu sebelumnya, selain di sekolah Sienna?]"

Tubuh Fahira seketika menegang. Saliva yang seharusnya tertelan cepat, berubah seperti batu kesat yang sulit ia telan bersamaan dengan suara Dokter Zayn yang berbaur dengan angin pagi Untermainbrück. Mata Fahira terasa perih apalagi saat ia berusaha menahan kedipan matanya agar butiran hangat tak lagi tumpah di hadapan Dokter Zayn.

Sejujurnya, Fahira ingin mengangguk dan menjawab iya. Namun terlalu banyak pertimbangan dalam benaknya hingga memberatkan Fahira untuk sekedar menjawab iya. Sekuat tenaga Fahira menghadirkan tawa meski terdengar pelan nan hambar serta menyakitkan. 

"Ist es wahr? Wo? [Benarkah? Dimana?]"

Serak suara Fahira seharusnya menjadi penegas bahwa ia tengah berbohong. Berbohong pada dunia dan hatinya sendiri. Jangan tanya rasa sesal dan nyeri di hatinya sebesar apa setelah Fahira mengucapkan kalimat itu. Fahira bahkan hampir tak mampu menopang tubuhnya lagi saat ia menahan betapa nyeri dan menyesalnya ia mengatakan dua kata sederhana yang entah bagaimana bisa ia ucapkan.

"Deine Stimme kommt mir bekannt vor. Entschuldigung, ich verstehe es sehr falsch [Suara anda seperti tidak asing buat saya. Maaf, saya memang sering keliru]," ujar Dokter Zayn seraya tersenyum.

"Sienna bilang, anda dari Indonesia. Bagaimana kalau kita berbicara Bahasa Indonesia saja agar lebih nyaman?" ujar Dokter Zayn lagi menghalihkan topik pembicaraan.

Ini bagai bencana bagi Fahira, seberapa lama lagi ia harus menahan perih ini. Suara Dokter Zayn saat berbicara Bahasa Indonesia begitu mirip Adam, tak ada bedanya dan itu menyiksa. Fahira hanya mampu menganggukan kepalanya tidak mampu walau sekedar tersenyum.

Tepat ketika Dokter Zayn membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu, perut seseorang berbunyi hingga membuat keadaan hening. Hanya terdengar suara bising orang-orang sekitar.

Baik Fahira maupun Dokter Zayn, keduanya tercengang mendengar alarm lapar perut Sienna yang terdengar nyaring diantara suasana kaku dua orang dewasa yang pikirannya sedang sibuk menyambungkan teka-teki milik masing-masing.

Wajah Fahira memerah, ia malu karena putrinya kelaparan disaat yang tidak tepat. "Cenna, bist du-- [apa kamu--]"

"Ich bin hungrig [aku lapar]," sela Sienna tanpa dosa.

Bocah berumur empat tahun itu cengir sambil memegang perutnya lucu di pangkuan Dokter Zayn. Susah payah Dokter Zayn menahan tawa. Karena gemas, Dokter Zayn mencubit pipi gembil Sienna yang masih cengir  memamerkan deretan gigi putihnya.

Naungan Langit Negeri Hitler [On Going]Where stories live. Discover now