Tiga Puluh Dua

1.5K 203 31
                                    

Assalamu'alaikum.. kalian apa kabar??
Duh sudah lama ya tidak bersua😂 mohon maaf, ada banyak hal yang harus aku kerjakan di real life dan juga aku mengidap penyakit writer block sampai sulit sekali menuangkan satu kalimat saja.

Buat teman-teman semua yang mungkin punya tips yang mujarab untuk menghilangkan penyakit WB ini silahkan dm aku sekarang juga yaa.

Terima kasih sudah mau menunggu aku. Silahkan baca ulang part sebelumnya agar lebih nyambung hihii. Selamat membaca ya♡♡

-T i g a P u l u h D u a-

🍁🍁🍁

Tak perlu memaksa, jika Allah berkata tidak, maka semuanya tak akan terjadi. Jika Allah berkata iya, maka semuanya terjadi. Kun fayyakun.

🍁🍁🍁

"Aku pilih HTF sesuai keinginan papa," tukas Fabian cepat.

Panji mengangkat wajahnya untuk menatap wajah putranya yang terlihat serius.

Senyum di wajah tua Panji mengembang. Ia kemudian berjalan mendekati Fabian dan menepuk pundaknya.

"Ini baru anak papa," ujarnya.

"Kalau aku pilih HTF, papa gak boleh menyentuh apapun yang berhubungan sama Fahira termasuk orang-orang disekelilingnya, dan aku ingin papa meminta maaf atas semua yang papa lakukan sama Fahira," cerca Fabian dengan suara tegas. Meskipun jauh dalam hati Fabian mengakui bahwa Panji tak mungkin mau meminta maaf atas apapun yang ia lakukan.

Sama halnya dengan kejadian dulu saat Panji melakukan hal yang sama pada perempuan yang Fabian cintai. Pria tua itu tak sekalipun mengucapkan kata maaf bahkan pada Fabian.

"Kalau begitu, akan aku pastikan kalau Louisse gak akan pernah bebas dari penjara. Lalu papa, tinggal menunggu giliran." Fabian melenggang dari hadapan Panji. Laki-laki itu muak melihat wajah tak berdosa ayahnya yang ingin sekali ia lempar dengan asbak ukiran kayu di hadapannya.

Rahang Panji menegas, sorot kebencian itu ia tujukan pada anak semata wayangnya yang baru saja berjalan tiga langkah menjauh darinya.

"Okay, papa akan meminta maaf tapi kamu berjanjilah satu hal."

Fabian menghentikan langkahnya saat mendengar ucapan Panji. Inilah Panji, ayahnya. Lelaki tua itu selalu seperti ini. Memberikan kesepakatan lain agar ia tetap bisa melancarkan keinginannya tak peduli perasaan orang lain termasuk anaknya sendiri.

"Papa akan melakukan apa yang kamu mau dan kamu pun begitu, harus melakukan apa yang papa mau. Deal?"

Dada Fabian seperti langsung tersulut bara api. Napasnya memburu, ia ingin sekali marah sekarang, jika saja tak ingat bahwa berhadapan dengan Panji tidak boleh dengan amarah kalau tidak ingin semuanya percuma. Sekuat tenaga Fabian meredam kembali amarahnya, menelannya bersamaan dengan deru napas yang perlahan ia atur sedemikian rupa agar tak terlihat letupan kemarahan yang kian membumbung.

Fabian tak habis pikir dengan jalan pikiran picik yang ayahnya miliki. Bagaimana mungkin untuk meminta maaf saja ia harus memberikan kesepakatan seperti itu? Keterlaluan.

Fabian membuang napasnya kasar, kemudian berkata. "Deal," putus Fabian.

Baiklah, tentang bagaimana ia harus menghadapi Panji selanjutnya, nanti akan Fabian pikirkan lagi. Baginya, mengambil hati Panji demi keselamatan perempuan yang ia cintai adalah yang utama sekarang.

Naungan Langit Negeri Hitler [On Going]Where stories live. Discover now