Enam Belas

1.8K 205 90
                                    

-E n a m B e l a s-

🍁🍁🍁

Cinta dan kepercayaan bukanlah satu kesatuan. Ada dinding pembatas yang mungkin sulit untuk dirubuhkan.

🍁🍁🍁

Fabian melonggarkan dasi yang ia pakai. Sesak rasanya setelah lebih dari dua belas jam ia memakai dasi ini demi formalitas. Fabian tidak suka pakaian formal, yang menurutnya terlihat kaku saat dikenakan. Rambutnya tidak lagi rapih seperti biasa, kesal yang dirasakan membuatnya berkali-kali mengacak rambut secara tidak sadar. Hembusan nafas kasar pun sering kali ia lakukan.

Ada sedikit permasalahan mengenai pemasaran di kantor cabangnya di Munich yang mengharuskan ia rapat selama berjam-jam dengan pegawai disana. Perlu Fabian akui, kantor di Munich jarang ia pantau dan hanya di amanahkan pada pemegang kantor cabang selama satu minggu terakhir karena ia sibuk di kantor pusat yang berada di Hamburg juga ia sibuk menjadi 'sopir dadakan' kemarin.

Fabian tidak menyesal menjadi 'sopir dadakan' sekalipun pekerjaannya keteteran. Sebab dengan menjadi 'sopir dadakan' ia bisa satu langkah lebih maju untuk merubuhkan dinding pertahanan yang Fahira bangun.

Fabian berjalan gontai saat keluar dari lift yang membawanya menuju penthouse mewahnya di kawasan Kota Hamburg. Sengaja ia pulang ke kota ini karena tadi siang ada rapat direksi di kantor pusat juga karena rasa lelah yang membuatnya ingin segera melempar tubuhnya ke atas kasur. Setelah sebelumnya Fabian lebih betah tinggal di Frankfurt dengan alasan ... kalian bisa tebak sendiri. Apalah arti penthouse mewah jika kenyamanan tak hadir disana.

Fabian membuka sepatunya sembarangan lalu membuang kaus kaki yang terasa panas. Kemudian terakhir, ia membuka jas hitamnya.

"It's been a long time, Bian."

Fabian terperanjat mendengar suara itu saat ia baru saja akan merebahkan tubuhnya.

Kantuk dan lelah yang Fabian rasakan seolah lenyap saat ia baru saja menyadari suara tak asing dari arah jendela besar yang menghadap langsung pada pemandangan Kota Hamburg dibawah sana.

Di luar baru saja turun hujan, kilatan petir seakan mendukung suasana tegang diantara mereka. Hanya bayangan hitam yang Fabian lihat karena redupnya penerangan ruang tengah.

"Sejak kapan kamu berani melawan?" tanya suara itu lagi.

Wajah Fabian berubah serius, rahangnya mengeras, sorot mata tajam ia tujukan pada laki-laki lumayan tua yang sekarang sudah terlihat sepenuhnya karena lampu ruang tengah otomatis menyala.

Fabian menarik sebelah sudut bibirnya, menampilkan seringai yang terkesan menantang. Fabian berjalan mendekati sofa besar ditengah ruangan lalu menjatuhkan tubuhnya disana.

"Wie gehts es ihnen[1], Papa Panji?" Alih-alih menjawab pertanyaan laki-laki itu, Fabian lebih memilih balik bertanya. "Udah lama kita gak ketemu. Papa masih suka kopi? Mau Bian bikinin?"

"Papa tidak suka berbasa-basi," balas laki-laki yang bernama lengkap Panji Siregar. "Jelaskan semuanya." Panji melempar beberapa lembar foto berukuran sedang ke atas meja.

Fabian menilik lembaran foto satu persatu. Dalam foto pertama terdapat gambar dirinya yang memasuki toko es krim, foto ke dua masih juga foto dirinya tapi kali ini dengan ... Sienna? Fabian meraih cepat foto tersebut, kembali meniliknya dengan saksama. Benar, ini Sienna. Fabian mengambil foto lainnya, mata Fabian terbuka lebar ketika melihat dirinya yang tertawa bersama Fahira masih di dalam toko es krim tersebut.

Naungan Langit Negeri Hitler [On Going]Where stories live. Discover now