Dua Puluh Tiga

1.5K 187 62
                                    

-D u a P u l u h T i g a-

🍁🍁🍁

Tak bisakah kau biarkan aku tenang satu hari saja? Bayanganmu begitu membekas, enggan beranjak, dan melukai hati. Tolong jangan datang meski sebatas dalam mimpi.

🍁🍁🍁

Laki-laki bermata coklat itu baru saja menjatuhkan tubuhnya di atas kursi besar ruangan ini. Sudah sekitar satu bulan ia tidak mengecek kesehatannya karena kesibukkan yang menuntutnya menjadikan rumah sakit sebagai rumah keduanya. Sekarang pun ia sengaja menyempatkan diri datang kesini untuk bertemu Profesor Tommy setelah shift malam tadi.

"Schau mal wer da ist? Wo haben Sie kürzlich besucht? Kümmerst du dich nicht mehr um deine Gesundheit? [Lihat siapa yang datang? Kemana saja kamu baru berkunjung? Apakah sudah tidak peduli lagi akan kesehatanmu?]"

Laki-laki itu lantas tertawa mendengar sindiran halus yang sering kali Profesor Tommy katakan saat dirinya telat datang check up.

"Wie geht es deinem Vater? Es scheint, als hätten wir uns lange nicht mehr gesehen [Ayahmu bagaimana kabarnya? Rasanya sudah lama kami tidak bertemu]."

"Ihm geht es gut. Er hat gestern auch Grüße[*] geschickt, als ich nach Hause kam [Baik, Prof. Beliau juga titip salam kemarin saat saya pulang kerumah]."

"Alhamdulillah dann. Wann war gestern? Wie lange bist du nicht zu Hause? Schau dir dein Gesicht an, was für ein Durcheinander. [Alhamdulillah kalau begitu. Kemarin kapan? Sudah berapa lama kamu tidak pulang? Lihat wajahmu, kacau sekali]."

Profesor Tommy layak cenayang baginya. Lelaki tua itu selalu tahu apa yang ia alami hingga tahu bahwa dirinya lama tidak pulang ke rumah orang tuanya. Wajah lelah yang begitu tersirat itu pun kembali tertawa menanggapi dokter spesialis saraf sahabat ayahnya sekaligus sebagai psikiater yang telah menangani penyakitnya sejak tujuh tahun yang lalu.

"Seminggu yang lalu, Prof. Saya pulang ke rumah papa tapi tidak sampai menginap karena beliau dan mama ada acara di panti asuhan," jawabnya setelah lama berpikir akan kejadian seminggu lalu. Maklum, selain karena kesibukkan pekerjaannya yang membuat laki-laki ini lupa, ia juga mesti berpikir agak lama untuk mengingat hal-hal yang terjadi dalam hidupnya.

Profesor Tommy tersenyum, ia mengerti Bahasa Indonesia yang laki-laki itu ucapkan, karena pernah tinggal lama di tanah air untuk menjadi dosen salah satu perguruan tinggi.

"Mulai durhaka rupanya kamu, Adam Zayn." Profesor Tommy memukul pelan bahu tegap pemuda di hadapannya itu. "Okay, Was fühlst du jetzt? Gibt es irgendeinen Fortschritt? [Apa yang kamu rasakan sekarang? Apakah ada perkembangan?]"

Adam menarik nafasnya dalam. Lama ia berpikir untuk memilah kalimat tepat untuk diutarakan pada profesor Tommy, hingga akhirnya ia buka suara.

"Saya tidak bisa meminum obat itu lagi, Prof. Obatnya sama sekali tidak bereaksi apapun. Sekarang, saya semakin gelisah setiap kali mimpi itu datang, lalu pening setiap kali saya mengingat wajah perempuan yang saya temukan di sana. Rasa sakit di sini ... terlalu menyakitkan saat saya berusaha mengingat hubungan apa yang pernah saya miliki dengannya hingga dia datang berulang kali," jelas Adam sambil menekan dadanya kuat-kuat. Jantungnya kian berderdenyut hebat, lalu sakit yang dia sendiri tak bisa mendiagnosisnya kembali ia rasakan.

Naungan Langit Negeri Hitler [On Going]Where stories live. Discover now