22. Olaf, penyihir dan ibu peri

4.4K 274 3
                                    

Tepat pukul 12.32 AM Savea baru menyelesaikan adonan terakhirnya. Kiran tertidur terlentang di sofa apartemennya, raut lelah begitu nampak di wajah cantik sahabatnya. Bagaimana tidak kelelahan, mereka sangat niat membuat 6 adonan brownies tanpa bantuan siapapun.

Meletakan nampan terakhir di freezer Savea merengangkan otot lehernya bersiap untuk tidur. Namun, dering panggilan diponselnya membuat gadis yang hampir terbuai bunga tidur itu mengumpati sang penelpon. Bundanya. Kenapa lagi dengan wanita itu? Selang beberapa menit setelah panggilan itu ia rijek pesan marah-marah dari bundanya masuk beruntun.

Bunda: Kamu sama Jordi kenapa?

"Jordi? Ya Allah, tolong kasih pengertian ke bunda saya, ini anaknya ngantuk loh mau bobok jangan ditelpon terus!"

Bunda: Kamu dimana sekarang?! Angkat telpon bunda! Pulang sekarang atau bunda gak akan izinin kamu ketemu ayah lagi!

"Gak punya hati!"

Membuka celemeknya, Savea pergi menuju kamar mandi, membasuh muka berharap menghilangkan kantuk. Sebelum pergi gadis itu menulis pesan pada Kiran berisi bahwa ia pulang sebentar, lalu akan kembali besok pagi sebelum pukul 6 pagi jadi gadis itu tak perlu kahwatir saat bangun nanti.

Pohon-pohon besar dengan ranting-ranting keringnya yang berdenting membuat suara aneh yang terdengar menyeramkan. Savea mengusap kedua lengannya, angin malam yang lumayan kencang membuat hoondie yang dipakainya menembus dingin. Kata orang Jakarta tidak pernah tidur, lalu mengapa jalanan ini seolah tak ada kehidupan? Taksi? Sudah dia pesan. Savea Amara Hakim tak mungkin sebodoh itu untuk berjalan kaki menuju rumahnya. Kata sopirnya sudah di ujung jalan besar, namun bermenit-menit menunggu benda beroda empat itu tak kunjung datang.

"Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya hijau, kuning, kelabu, merah muda dan biru ..." Savea bernyanyi kecil mengusir parno.

Savea berhenti bernyanyi menyadari ponselnya kembali berdering dengan nama pemanggil yang terpampang sama. Kali ini Savea berniat mengangkat dan mengadu pada bundanya agar mengirimkan sopir rumah saja.

"Hallo—AWWH WOI COPET ANJING!!"

Pencopet pria itu mendorong dan menendang Savea kasar. Gadis itu terjatuh ringkih, reflek ia memegang dahinya yang berdenyut, sial, mengeluarkan darah. Pasrah. Savea pasrah ponselnya dicopet setidaknya dia tidak diapa-apakan lagipula siapa yang akan datang menolongnya di tengah kegelapan ini. Tiba-tiba mobil BMW berwarna hitam datang dari arah berlawanan menghadang si pencopet hingga terhuyung dan jatuh. Seorang pria keluar dengan pistol ditangannya.

Pistol!

Savea menutup mata mengira akan ada suara tembakan namun, rupaya tak ada menghirup nafas lega Savea membuka mata perlahan. Pria berkaos hitam polos itu mencodongkan tangannya berbisik serak dengan suara dingin yang mencekam. "Bangun bodoh."

Jantungnya berhenti berdetak sesaat. Mata hazel yang sama. Pria yang sama yang menyelamatkannya seperti semalam. Damian Alvaro, sebenarnya siapa pria ini? Apa ini masih bisa disebut sebuah kebetulan lagi? Tapi bagaimana dengan pistol digenggamannya tadi?

Berada dalam satu mobil bersama manusia berwatak dingin memang bisa menyebabkan sesak nafas kronis. Rasanya benar-benar sama saat ia satu mobil dengan Zenon. Jika Savea bisa sedikit menggoda manusia batunya dengan ocehan dan lelucon recehnya berbeda 360 derajat dengan Bapak Damian Alvaro ini. Sepertinya patut ia deklarasikan wali kelasnya ini sebagai Manusia Es abadi. Ya, jenisnya sama seperti Olaf ciptaan Elsa Frozen namun dia versi kakunya.

Damian mengerutkan kening. Dimana Savea yang sangar? Jelas gadis itu menutupi rasa takut dengan memainkan jemari lentiknya. Damian terkekeh didalam hati, rupanya Savea tetap bocah ingusan biasa. Takut pada pistolnya berbeda dengan Arkana Hakim.

Zenon and Savea (NEW VERSION) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang