4. Tubrukan netra

5.5K 386 2
                                    

Ruangan putih yang diselimuti bau obat-obatan, menjadi saksi bisu betapa lemahnya seseorang yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit itu. Sudah beberapa kali ia mencoba memejamkan mata namun hasilnya masih sama, keluhan demi keluhan dia berikan pada Savea. Mulai dari mual dan muntah, kulit yang gatal, dan keram pada sekujur tubuhnya.

Savea menatap sendu pria paruh baya di depannya, tangan gadis itu mengelus halus rambut yang mulai memutih. Helaan nafas kecil keluar dari mulutnya. Matanya menatap lekat wajah taman dengan raut sedih sang ayah. Alis tebal dan rapi, hidung mancung, bibir tipisnya yang memucat, dan rahang yang masih tegas walaupun pria itu sudah menginjak kepala empat.

"Ara sayang Ayah." Mata Savea memerah, air matanya pun sudah menumpuk di pelupuk mata. Ia menahan untuk tidak menangis sekarang. Sial. Savea mengusap pipinya kasar. Tidak ia tidak boleh menangis!

Setelah tidak tidur semalaman, tidak terasa pagi pun tiba. Gadis dengan kantong mata menghitam, berseragam batik itu menekan tombol Calling System untuk memanggil suster jaga untuk ayahnya. Savea beranjak dari sana menuju ruangan dokter. "Pagi Mbak Nata. Jadi, kan nganterin aku ke sekolah?"

Dokter muda yang tengah duduk dan berfokus pada layar laptop itu pun mendogak, kemudian tersenyum manis melihat keberadaan Savea. Sejenak ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 06.25, ini terlalu pagi untuk seorang Savea yang sudah ia ketahui pemalasnya tingkat akut.

"Ayok Mbak. Vea udah terlambat nih, gak sabar banget mau ketemu dia yang aku rindu," ajaknya tak sabaran.

Natasya tertawa kecil. "Siapa suruh gak nemuin dia selama dua hari, kan yang nahan rindu kamu."

"Mau gimana lagi, gini-gini aku masih punya malu tau." Savea meringis mengingat kejadian itu.

"Kamu udah sarapan, belum?" Savea bingung, kenapa dokter cantik di depannya ini tiba-tiba tidak nyambung.

"Belum. Savea belum sarapan. Emang kenapa, Mbak mau traktir?"

"Gak kok nanya doang."

Savea memanyunkan bibirnya ke depan. "Kirain ditraktir."

"Gak kok bercanda, Mbak traktir sarapan nasi goreng kambing di depan jalan. Gimana mau?"

Savea melompat saking senangnya. Sudah jarang sekali, ia sarapan nasi goreng kambing kesukaannya. "Horaay!! Demi apa?"

"Demi cinta."

Gadis itu melongo. "Kenapa demi cinta?"

"Ya karena mencintai sendirian itu juga butuh tenaga extra," celetuk Natasya.

Memberengut Savea berdesis, "Mbak nyindir Vea issh."

Natasya mengangguk sembari terkekeh kecil. "Stop ah ngomong yang ginian. Mbak gak ngerti kita lagi ngomongin apaan."

Wanita cantik yang berprofesi sebagai dokter spesialis ginjal itu memang tahu menahu soal Savea yang menyukai Zenon. Apalagi Zenon adalah anak pemilik Yayasan sekaligus kepala dokter di rumah sakit ini.

"Ya udah kita diam aja," timpal Savea, menyetujui. Belum sedetik juga diam, cewek itu kembali bersuara. "Mbak?"

"Iya?" jawab Natasya, menoleh kearah Savea.

Zenon and Savea (NEW VERSION) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang