Hidup itu realistis. Apapun angan kita, kenyataan pasti selalu jadi tamparan. Hidup itu misterius. Semua yang direncanain kadang berbanding terbalik sama yang terjadi. Bahkan untuk sekedar tahu apa yang bakal terjadi semenit lagi saja, Savea tidak mampu. Dia tak tahu apakah mampu bertahan dengan situasi rumit ini atau tidak?
Kalau cinta bukan jawaban untuk bertahan, lantas apakah keluarga mampu jadi tumpuan untuk kedepannya? Semua sudah rusak, dikoyak kenyataan bahwa bahagia bukanlah kata yang Tuhan tulis untuk hidupnya.
Ah, Savea tidak pernah lupa betapa beruntungnya dia mempunyai sahabat seperti Kiran. Satu-satunya manusia yang selalu ada ketika Savea menangis, butuh sandaran dan butuh teman cerita. Di hari kasih sayang ini, hatinya yang tersayat kembali terhibur oleh hadirnya Kirana. Mengulangi kebiasaan dikala gunda, kini keduanya berdiri di balkon sembari memandangi keramaian bitang dan kesendirian rembulan.
"Ran, kalau gue jadi pemeran utama di sebuah novel. Dan penulisnya benar-benar menulis sosok gue apa adanya, kira-kira pembaca bakal baca novel itu sampai habis atau enggak?" tanya Savea memecahkan keheningan.
"Protagonis yang antagonis? Maybe sih semua orang punya tipe bacaan masing-masing. Kalau diambil sisi baiknya pembacanya pasti bakal nangis, tapi gue rasa pasti gak dikit juga yang emosi sama lo sih."
Lantas Savea terkekeh. "Ya secara, banyakan sisi jahatnya kan? Gue malah berharap gak ada pembaca yang kasihan, bayangan aja si manusia yang nyakitin orang buat nutupin perasaan sakitnya? Gak waras. Gue harus akui kalau gue ini manusia playing victim, kan? Ya, berlagak korban takdir Tuhan, padahal sakitnya gue yang ciptain sendiri."
Kiran dengan mantap mengangguk. "Bodoh pula. Salah satu yang paling gak waras dari lo itu ya suka minder dan ngejelekin diri sendiri."
Hening kembali menghampiri mereka. Kiran menatap wajah sahabatnya yang penuh beban. Sesak rasanya melihat Savea memandang langit dengan tatapan kosong, lalu berpindah pada tanah. Berulang kali.
"Lo pernah berdoa gak sih Vea? Literally solat?"
"Hm? Pernah tapi jarang. Gue sering berharap sama Tuhan tapi buat berdoa atau solat gue bener-bener ngelakuin itu cuman ketika gue butuh dan itu kayaknya satu penyebab akurat kenapa Tuhan gak pernah kabulin doa gue." Savea terkekeh lalu melanjutkan kalimatnya. "Buat sekarang untuk berdoa ke Tuhan, gue ngerasa gak pantas Ran. Lagian gue datangnya pas butuh doang. Padahal kata orang bicara dari hati ke hati sama Tuhan bakal ringanin beban, tapi kalau gue berdoa malah nambah beban Tuhan gak sih?"
"Ndasmu. Pikiran lo tuh ya Vea, simple tapi gak ada isinya. Terus sekarang lo pikir dengan bunuh diri masalah lo bakal selesai gitu. Jangan pikir gue gak paham isi otak lo ya Ve. Lo harus tahu, gak ada manusia yang gak dihinggapi masalah! Tuhan pun kasih lo cobaan karena Dia tahu lo bisa hadapi dan selesain semua ini."
"Gue pernah janji sama seseorang kalau gak bakal bunuh diri walaupun secapek apapun, Ran. Gue ngeliat kebawah karena ngerasa Zenon ada disini. Dia lagi apa ya? I miss him so much."
Savea menghela nafas lelah, mencoba menjernihkan pikirannya. Kiran benar, ia tidak boleh berlarut-larut. Semua ini pasti ada ujungnya, entah indah atau bahkan lebih menyedihkan Savea harus menjalankan dan menerima semua ini apa adanya.
Kiran tersenyum tipis. "Perasaan kalian benar-benar udah terikat ya? Kalau gue bilang Zenon ada dibawah lo percaya?"
***
Percayalah, putaran bumi dan waktu terus berjalan menempa mereka. Hanya saling memandang tanpa sepatah kata ditemani semesta yang terus berbisik 'kenangkan tatapan itu hingga nanti berbekas untuk waktu yang lama. Zenon enggan mengedipkan netranya, mulutnya sudah terkunci, kata yang tertata terbata setelah melihat sosok cantik di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenon and Savea (NEW VERSION)
Teen FictionMenutup mata dan telinga, memaksakan diri untuk mengembara, pada akhirnya jawabannya adalah dia dan cinta. Zenon Almeer Faith, Cowok beretra cokelat itu terkenal dengan paras tampan dan kekayaan yang berlimpah. Di tambah, kepandaiannya dalam adu fis...