TIGA PULUH DUA

904 67 6
                                    

Ditempat yang sunyi, kedua cowok yang ada di dalam perpustakaan dan paling pojok belakang sedang beradu tatap.

Masing-masing dari mereka sedang menahan amarahnya.

"Udah berani, ya," ucap Martin kemudian. Kedua tangannya ia letakkan di atas dada.

"Menurut gue lebih baik lo berhenti nyamar jadi cupu, deh. Nggak cocok," cibir Martin.

Alvaro mengeratkan kepalan tangannya. Napasnya memburu. Ingin sekali dirinya menonjok cowok yang ada dihadapannya ini.

"Lo tau ini dari Naya. Siapa Naya?" Alvaro tiba-tiba terdiam ketika ada yang ganjal dari nama yang ia sebutkan tadi.

Martin menatap Alvaro santai. "Untuk apa bertanya? Lo mau bunuh dia?" Martin tertawa pelan.

Dalam hati Alvaro sudah sangat marah. Bahkan matanya sudah mulai memerah dan berkaca-kaca. Tatapan tajamnya pun tak pernah lepas dari Martin.

Alvaro mencoba untuk menahan amarahnya dengan menarik napas panjang lalu menghembuskannya.

"Gue butuh bantuan dari lo."

Martin menoleh ke arah Alvaro. ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, setelah itu ia berjalan beberapa langkah agar bisa lebih dekat dengan Alvaro.

Hingga tepat pada samping badan Alvaro, Martin mendekatkan bibirnya pada telinga Alvaro.

"Pembunuh kayak lo mana mungkin bisa dapat bantuan," bisik Martin tegas.

"Canda pembunuh," ucap Martin remeh lalu pergi meninggalkan Alvaro.

Baru beberapa langkah Martin berjalan, ia lekas berhenti.

Tanpa membalikkan badan, Martin menghela napasnya kasar.

"Oh, ya."

Alvaro menoleh ke asal suara.

"Mulai sekarang lo jangan dekati Maya lagi. Sekarang dia adalah milik gue. Lo cuma bisa manfaatin dia doang tanpa memikirkan perasaannya. Lo kejam. Lo memang nggak pantas untuk jatuh cinta. Karna lo pantasnya cuma untuk jadi pembunuh." Setelah mengatakan itu Martin kembali melangkah pergi meninggalkan Alvaro yang ada di dalam perpustakaan.

Alvaro tak dapat berkata apa-apa.

Semua yang Martin ucapkan padanya memang benar. Dirinya hanya memanfaatkan Maya tanpa memikirkan perasaannya. Dirinya hanya memanfaatkan cinta Maya padanya.

Hingga kenangan saat Alvaro bersama Maya pun terlintas di otaknya.

Betapa manisnya senyumnya, betapa cerewetnya dirinya, betapa menyebalkannya dirinya ....

"Alo!"

"Apa sih?"

"Ini gue mau ngomong sama Alo ... Alo nggak bakal marah, kan?"

"Gak. Apa, mau ngomong apa?"

"Ini bola Alo pecah gara-gara gue dudukin, hehe."

"A-apa? Mayaa!!"

"Huwaaa sorry, gue nggak bakal dudukin lagi kok."

"Nggak! Lo harus ganti!"

"Nggak mau, beli aja sendiri, ble!"

Alvaro lekas membuka matanya. Napasnya semakin memburu ketika tiba-tiba dirinya mengingat kenangan masa kecilnya bersama dengan Maya.

Tanpa pikir panjang Alvaro lekas melepaskan kacamatanya yang sekian lama tidak pernah ia lepas. Dengan kasar dirinya memukul meja tempat belajar yang ada di sampingnya. Semua amarah yang dari tadi ia pendam pun sudah terbalaskan dengan memukul meja. Membuat meja yang barusan ia pukul tadi sedikit retak.

Fake Nerd BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang