EMPAT PULUH SATU

912 69 6
                                    

Alvaro memasuki kamar yang telah lama tak ia masuki. Di dalam sana tetap sama seperti kamarnya waktu kecil. Dan kini, di tempat tidurnya sudah ada Advaro yang sedang duduk.

Alvaro melangkah menghampirinya. "Lo suka kamar ini?" tanyanya santai.

"Iya, Bang." Advaro mengangguk antusias.

"Ambil aja. Lagian, kamar di rumah ini ada banyak. Gue akan pindah kamar saja." Alvaro membalikkan badannya, berusaha untuk kembali keluar.

"Bang, kok lo nggak mau buang samaran?" tanya Advaro bingung.

"Untuk apa gue mengubahnya. Lagian, wajah gue nanti juga sama kayak lo. Atau mungkin lebih gantengan gue." Alvaro tersenyum kecil. "Oh iya, jangan panggil gue dengan sebutan bang. Panggil aja gue Alvaro. Gue nggak suka." Alvaro pun melangkah pergi dari kamar.

Advaro terdiam sebentar. "Aneh," gumamnya pelan lalu membaringkan dirinya di tempat tidur.

Alvaro membuka pintu kamar yang akan dirinya tempati sekarang. Tak menunggu lama, ia melangkah masuk dan mengunci pintu kamarnya dari dalam.

Kamar besar dengan nuansa putih, itu akan membuat Alvaro sedikit nyaman.

Alvaro berjalan ke arah cermin besar yang kini telah berada di depannya. Memandang wajahnya dalam, pikirannya kosong. Ia tersenyum. "Selamat, gue udah kembali," ucapnya pada diri sendiri.

Alvaro melepaskan jaketnya, beralih melepaskan kacamatanya. Walau di wajahnya sekarang sudah mulai terlihat seperti semula, ia melangkah pergi ke dalam kamar mandi. Di sana dirinya mencuci wajahnya dengan sangat lama.

Usai mencuci wajah, Alvaro membasahi rambutnya sedikit, ia mengubah bentuk rambutnya seperti dulu, walau ada yang sedikit berbeda.

Alvaro mengambil handuknya dan menyapunya ke wajah. Di sana Alvaro menatap dirinya sendiri di cermin. Sungguh indah wajahnya ini, bahkan lebih ganteng dia daripada adik kembarnya itu.

Alvaro terkekeh pelan. Beberapa saat kemudian, ia bersikap dingin. Besok, dirinya akan ke sekolah sebentar, dan sudah pastinya dirinya akan kembali menjadi cupu walaupun seisi sekolah sudah tahu tentangnya.

Ia akan membuka samarannya di waktu yang tepat. Tak tau kapan, intinya, jangan ditunggu kata kapan.

****

Usai pulang sekolah, Martin membawa Putra, Gentan, Maya, Alvaro, dan Kinaya ke dalam mobil Martin dan membawanya untuk jalan-jalan.

Di perjalanan, baik itu Alvaro, Martin, dan Maya, mereka bertiga hanya diam saja. Tidak dengan Kinaya, Putra, dan Gentan.

"Gue sama sekali nggak nyangka, kita juara tiga! Padahalkan kemarin drama yang kita mainkan telah kacau," ujar Putra.

"Haha, gue juga nggak nyangka kalo Alvaro punya kembaran dan Maya juga," sahut Gentan.

"Andaikan kalo lomba drama kita berjalan lancar, pasti kita juara satu!" timpal Kinaya. Kinaya menatap Maya. "Iya kan, Maya?" tanyanya pada Maya.

Maya mengangguk saja sambil tersenyum tipis.

"Oh, ayolah. Ada apa dengan kalian bertiga? Kenapa kalian diam saja daritadi?" tanya Gentan.

"Bukan bertiga. Tapi berdua. Gue sibuk nyetir, jadi nggak ada waktu buat bicara yang nggak penting," sahut Martin.

"Martin, gue nggak ikut jalan-jalan. Gue ada urusan penting," ucap Maya tiba-tiba.

Martin menatap Maya dari kaca spion yang ada di atasnya. "Baiklah."

"Gue juga," ujar Alvaro datar.

"Lah, kok?"

Alvaro menatap Martin datar, tatapannya seakan sedang ditatap oleh raja singa.

Fake Nerd BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang