TIGA PULUH ENAM

808 64 0
                                    

"Kata siapa?" tanya Alvaro tak percaya. Matanya tak lepas dari foto tersebut. Ia terus memandang keempat bayi yang ada di foto itu. "Lo dapat foto ini darimana?" Kini Alvaro menatap Dika serius.

Dika menghela napasnya panjang. "Buat apa lo nanya lagi? Kenyataannya adalah lo dijodohkan sejak bayi."

"Gue serius, Dika—"

"Ah, iya-iya! Gue dapatnya dari tante kejam lo. Gue juga tau hal itu darinya." Dika bangun dari rebahannya, kini dirinya duduk di tempat tidurnya.

Alvaro memicingkan matanya. Ada yang disembunyikan Dika darinya.

"Maaf, Al. Sebenarnya gue munafik. Dulu tante lo itu menyuruh gue menemani dan menjaga lo. Mungkin lo nggak bakal percaya. Tapi lo harus percaya. Mungkin sekarang pertanyaan lo bermunculan di otak lo. Kenapa tidak dari dulu lo ditangkap, itu karena tante lo mau membuat ayah lo semakin benci dengan lo. Dan otomatis, hukuman lo lebih berat jika lama tidak ditemukan. Baru aja tadi malam gue menemuinya, dia menceritakan semua yang ia perbuat. Tapi lo tenang aja, gue salah dan gue akan memperbaikinya. Beri gue satu kesempatan, gue bakal pastiin, masalah besar ini akan segera selesai."

"Silakan kalo lo mau marahi gue, pukul gue, bentak gue. Gue tau sekarang lo pasti kecewa besar sama gue. Ini adalah kesalahan gue, jadi lo berhak marahi gue." Dika turun dari tempat tidurnya. Ia menatap Alvaro yang ada dihadapannya. Ia menepuk pundak Alvaro tiga kali.

"Dan lo harus tau, ayah lo dan Devaro berencana untuk menangkap lo saat selesai jam istirahat. Mereka juga sudah tau diri lo, samaran lo. Syukurlah saat itu gue tau, kalo nggak mungkin lo udah ketangkep."

Alvaro menatap Dika sayu. "Terima kasih. Tapi akan lebih baik jika saat itu gue udah ketangkep."

Dika memiringkan kepalanya dengan kedua tangannya yang bersidekap di depan dada. "Iya, sih. Lo benar juga, pasti seru."

"Goblok," lanjut Dika geram.

Alvaro terkekeh pelan. Membuat Dika sedikit bingung.

"Lo maafin gue, kan? Beri gue kesempatan, gue bakal hentikan masalah ini juga. Gue udah punya bukti, sekarang gue bakal pergi," jelas Dika serius.

Alvaro menganggukkan kepalanya pelan. "Hm, baiklah. Walau lo minta maaf dan gue udah maafin bukan berarti rasa kecewa gue udah hilang."

Dika terdiam. Ia benar-benar bersalah sekarang.

"Pergilah, sekarang lo tanggung semuanya," tutur Alvaro datar.

Dika mengacungkan jempolnya lalu melangkah pergi.

Alvaro segera pergi ke kamarnya, berniat untuk mengganti bajunya lalu pergi ke rumah cewek yang biasanya selalu menempel ke dirinya.

Bukannya kangen, ia hanya ingin berkata jujur padanya dan ingin meminta maaf.

Walau ia sudah tau apa yang akan terjadi nanti. Cewek itu pasti akan kecewa besar padanya.

Namun, ada rasa sakit dibalik semua ini. Cewek itu melupakan masa kecilnya. Bahkan lupa dengan yang namanya 'Alo'.

****

Maya terbangun dari tidurnya ketika baru saja mendengar suara ketukan pintu dari luar rumah.

Ia menegakkan kepalanya, rasa pegal ada di mana-mana, termasuk leher dan lengannya. Sudah berjam-jam dirinya duduk ditempat belajar. Membaca buku untuk persiapan ujian beberapa hari lagi. Saking lelahnya membaca, dirinya tertidur.

Maya bangkit dari tempat duduknya, ia meregangkan otot-otot tubuhnya lalu lekas melangkah ketika kembali mendengar suara ketukan pintu tersebut.

Bukannya apa, ya? Di sana kan ada bel, kenapa orang itu tidak menekannya?

Fake Nerd BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang