SEBELAS

1.4K 131 18
                                    

"Sial banget, sih!" Maya melepaskan ikatan rambutnya lalu membuangnya begitu saja. Malam ini cukup dingin, lehernya terasa dingin, oleh karena itu ia membuang ikatan rambutnya dan membiarkan rambut panjangnya terurai. Biasanya Maya jika ke sekolah rambutnya ia selalu urai, tapi jika di rumah, ia mengikatnya. Kadang juga risih jika rambut panjang yang sedikit berombak itu mengganggunya.

Malam ini Maya hanya memakai hoodie putih tebal polos dan juga celana putih selutut.

Maya bingung mau berjalan ke mana, tapi syukurlah ia membawa uang di saku celananya walaupun tak banyak. Kira-kira pas lah untuk makan malam di luar.

Dulu, saat di sekolah lamanya. Ia selalu dipuji berlebihan karena kecantikannya. Tapi sekarang, di sekolah barunya ini Maya malah banyak dibenci oleh murid-murid di sekolah. Awal masuk ke sekolah barunya Maya memang dipuji berlebihan, tapi saat Maya mulai mengejar Alvaro, mendekati Alvaro ... ditambah Martin yang tak henti-hentinya mengejarnya. Semua orang malah mulai mencaci dirinya dan membencinya.

Maya berjongkok di jalanan sepi. Ia menangis dengan keras. Meluapkan rasa yang ia pendam di rumah tadi.

"Dunia jahat banget, sih!"

"Andai ayah masih hidup! Ayah pasti melarang bunda!" isaknya.

Maya itu memang anak orang yang bisa dibilang kaya. Tapi lebih kaya papanya Alvaro yang bisa dibilang CEO.

Bundanya Maya itu mempunyai dua perusahaan. Di mana dua perusahaan itu harus bundanya kerjakan bergantian ditiap harinya. Sebenarnya Cristy itu cuman mempunyai satu perusahaan, yaitu di Jakarta. Tapi karena perusahaannya itu dulu mulai maju hingga terkenal di kalangan provinsi, Cristy bisa memiliki dua perusahaan yang sekarang juga ada di Bandung dan sama-sama sukses. Walaupun begitu, Maya sama sekali tak merasa senang dan bangga. Dulu Maya memang pernah bangga pada bundanya, tapi setelah itu, Maya paham, orang kaya belum tentu bahagia bersama anak-anaknya. Karena pekerjaan, orang tua bakal melupakan anak-anaknya yang ada di rumah. Seperti inilah sekarang Maya.

Maya kadang iri dengan kedua sahabatnya itu. Sinta dan Rassya. Mereka berdua sederhana. Tidak kaya dan tidak miskin. Kehidupan kedua sahabatnya di rumah pasti terlihat sangat bahagia.

Maya lagi-lagi menangis. Ia kenapa jadi selemah ini?

Maya menghapus air matanya, ia kembali berdiri. Setelah itu ia berjalan dengan gontai. Dadanya masih terasa sesak. Matanya terlihat mulai membengkak. Dan hidungnya yang memerah.

****

Dor dor dor

"Awas-awas. Ntar punya Abang mati!"

"Enak aja, kalo Edo geser ke sana bisa-bisa mati!"

Terlihat dikediaman Martin. Rumahnya begitu besar dan mewah. Tapi lebih mewah milik papanya Alvaro. Yaiyalah.

Rumah Martin bertingkat dua. Rumah yang besar, dua mobil terparkir di halaman depan rumahnya yang cukup luas. Di sinilah sekarang.

"Yahhhh mati!" keluh Martin sembari melempar remot game-nya. Martin bersandar di sofa empuknya, menutup matanya sebentar.

"Bang, mau aisskrimm!!" Edo merengek pada Martin.

Martin membuka matanya. Menatap adik lelakinya yang berumur tujuh tahun itu merengek padanya.

"Mama papa belum pulang dari luar negeri. Baru satu hari mama papa keluar. Udah seenaknya aja, ya!"

"Ish, bagus dong! Kan selama lima belas hari Abang bisa jaga Edo. Mulai sekarang, kalau mama dan papa pergi keluar. Abang harus nerima permintaan Edo! Kalo enggak ..." Edo memikirkan hukuman yang pas untuk abangnya itu.

Fake Nerd BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang