TIGA PULUH LIMA

886 60 6
                                    

Pintu rumah terbuka, di malam hari ini Maya memasuki rumahnya dengan rasa lelah.

Niatnya mau pulang cepat, eh, malah malam datangnya.

Dengan syukur lagi teman barunya beserta mama temannya itu mengantarkannya pulang.

Maya jadi merasa nggak enak.

Suara langkah kaki terdengar dari belakang tubuh Maya, Maya yang berada di dekat tangga langsung membalikkan badannya.

"Minum dulu."

Maya berdeham pelan dan menerima segelas air putih dari Naya.

Naya menggelengkan kepalanya, ada-ada aja ulah Maya. Dengan kedua tangannya yang mengacak pinggang, Naya mulai bertanya, "Lo tau ini jam berapa?"

Maya membersihkan mulutnya setelah meminum air putih tersebut. Ia berjalan pelan, berniat untuk duduk di sofa. Usai duduk, ia meletakkan segelas cangkir yang isinya sudah habis itu ke meja.

"Jam sembilan malam. Lo lihat ini? Gue ada hadiah untuk lo."

Naya menghela napasnya pelan. Ia menghampiri adiknya dan ikut duduk di sampingnya.

Di meja, ada banyak bungkusan. Naya menatap adiknya kesal. "Lo buang-buang duit? Beli apa aja ini?" tanyanya agak kesal.

Maya terkekeh. "Gue ditraktir. Masalahnya cuman sepele, gue dan cewek seumuran gue itu nggak sengaja bertabrakan di mall, lalu jam tangannya terjatuh, gue ambil dan gue berikan padanya. Dan, gini dehhh," jelas Maya panjang lebar.

"Tapi ini mahal deh kayaknya. Atau dia emang orang kaya kali, yah? Tapi kan kita udah kaya. Atau dia lebih kaya, mungkin?" celetuk Naya.

"Hm, dia emang orang kaya. Mungkin ini udah takdir." Maya terkekeh. "Coba buka deh," ucapnya sembari memberikan bungkusan yang isinya terdapat seragam sekolah untuk kakaknya.

"Gue buka nih, ya." Dengan rasa penasarannya, Naya membuka bungkusan tersebut.

"Ini ...."

"Bagus, kan? Ntar kalo ujian sekolah udah selesai, lo bisa daftar sekolah di sekolah gue. Jadi kita sekelas, deh!" Maya tersenyum dengan menampakkan gigi putihnya.

Naya tersenyum tipis. Ia lekas memeluk adiknya erat.

"Makasih, sekali lagi terima kasih," ucap Naya terharu.

Maya tertawa pelan sambil membalas pelukan dari kakaknya. "Lo kan kakak gue."

Naya menghapus air matanya lalu lekas melepaskan pelukannya. "Kalo gue bukan kakak lo, lo nggak bakal belikan ini, huh?" tanyanya kesal.

"Nggak gitu, Nayaaa," balas Maya.

"Oh, iya!" Pupil mata Maya membesar, dengan semangat ia memperbaiki posisi duduknya. "Lo sama Martin tadi jalan-jalan, kan? Kemana hayoo!" Maya tertawa geli sambil mendorong bahu Naya pelan, mencoba untuk menggodanya.

Naya tertawa kaku. "Cuman ke jembatan."

"Hah?" Maya terdiam sebentar. Namun beberapa detik kemudian ia tertawa terbahak-bahak.

"Lalu ngapain lagi?" tanya Maya tiba-tiba tak tertawa lagi.

"Hmm ... kami pergi ke—"

Apa gue ceritain aja kali ya pada Maya kalo tadi gue dan Martin ke rumah Alvaro dan semua yang terjadi di sana. Tapi jika gue ceritain semua ini, maka belajarnya nanti bisa terganggu. Beberapa hari lagi ujian, mungkin selesai ujian nanti gue bakal mengatakan semuanya. Maafin gue ya, May. Hanya untuk kali ini, gue berbohong, batin Naya.

"Ke restoran," ucap Naya.

Maya mengangguk-angguk.

"Maya," panggil Naya.

Fake Nerd BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang