SEMBILAN BELAS

1K 80 2
                                    

"Bagaimana ... gimana ... kenapa ..." Dika berjalan berbolak-balik. Ia masih tak percaya dengan apa yang Alvaro ceritakan barusan.

Malam hari, kini Alvaro sudah berada di apartemen. Bahkan ia sudah mengantar Maya pulang ke rumah tadi.

Alvaro masih merasa tegang, masih tak percaya kalau Maya adalah anak dari orang yang ia bunuh. Bukan ia, tapi seseorang.

"Terus kita harus ngapain? Gue kira Maya mengetahui semuanya," keluh Dika.

"Kenapa dia bisa hilang ingatan?" tanya Dika pelan.

Alvaro masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Sekarang ia harus berbuat apa? Mencari pelaku sebenarnya itu sangat sulit. Dimulai dari yang pertama memfitnahnya. Itu adalah tantenya, Minanda. Kenapa harus ia yang difitnah? Kenapa tidak yang lain? Apakah ia ada salah sama tantenya? Ataukah tantenya tidak sengaja menunjuknya karena di cctv dulu itu memang terlihat jelas kalau wajahnya adalah wajah Alvaro sendiri. Tapi ... Alvaro tidak melakukannya. Alvaro mana mungkin melakukannya. Jadi, mana yang benar? Apakah ada seseorang yang mengedit cctv tersebut? Atau apakah ia punya kembaran?

Semakin dipikir semakin tak karuan. Alvaro bangkit dari duduknya. Berjalan melangkah pergi ke kamarnya.

"Lo, lo mau ke mana?" tanya Dika tiba-tiba.

Alvaro berhenti berjalan. Ia tidak menoleh ke Dika. Pikirannya sedang kacau sekarang. "Lo nggak liat gue mau ke mana?"

Dika diam saja tak menyahut. Alvaro sudah masuk ke dalam kamarnya. Sekarang tinggal Dika yang masih berada di balkon.

Dika mengeluarkan benda pipihnya dan memilih untuk bermain game online saja.

****

Pagi ini di Bandung, pagi yang terasa segar. Cuacanya tak begitu panas dan tak begitu dingin.

Sekarang di kediaman rumah Maya. Maya sudah siap dengan pakaian sekolahnya. Dan kini ia berada di ruang makan bersama bunda dan lelaki tua.

"Nak," panggil Cristy disela makannya.

Maya menatap bundanya. "Iya, Bun?"

"Pagi ini kamu bakal diantar oleh ayahmu."

Maya meletakkan sendoknya di piringnya. Ia mengambil tisu yang ada di sampingnya. Setelah itu ia bangkit dari duduknya.

"Maya naik angkot aja, Bun. Kalo pulang sekolah, Maya naik bis sekolah," ucapnya santai.

"Maya berangkat dulu." Maya pun pergi pamit keluar dari rumahnya.

Setelah menutup gerbang rumahnya. Maya dikejutkan oleh kendaraan Martin. Di sana tidak ada keberadaan Martin, hanya terpampang motor saja di depannya. Mengapa cowok itu meninggalkan motornya di sini?

"Martin di mana, sih?" gumamnya seraya bertanya. Maya celingak-celinguk mencari keberadaan Martin. Namun nyatanya tetap tidak ada.

Maya mengacuhkan saja. Ia melanjutkan berjalan kaki ke arah sekolah, biasanya nanti juga angkot akan melewati jalan yang ia jalani.

Sedangkan Martin yang baru saja datang dari warung sebelah, ia langsung terkejut ketika melihat Maya yang sudah jauh darinya.

"Eh, bocah!" panggilnya dengan nada yang nyaring. Martin segera memarkirkan motornya di tepi rumah Maya lalu berlari mengejar Maya.

Maya berhenti berjalan ketika mendengar suara orang yang terus-terusan memanggilnya. Ia membalikkan badannya.

"Martin."

Martin yang baru saja menghampiri Maya segera mengatur napasnya yang masih ngos-ngosan. Setelah itu ia menegakkan tubuhnya dan menatap Maya kesal.

"Lo kenapa jalan ninggalin gue? Gue ke rumah lo buat jemput lo, tau!" protes Martin.

Fake Nerd BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang