"Maya gadis kecilku sayang, berjanjilah pada Ayah. Jangan katakan pada siapa-siapa dengan apa yang Ayah ceritakan tadi."
"Siap Ayah! Maya janji!"
"Sini, peluk Ayah."
Maya mengangguk senang dan lekas memeluk ayahnya erat.
"Anak pintar. Jadilah gadis yang baik. Ayah bangga punya anak kayak kamu. Cepat-cepat besar. Ingat kata Ayah, jika nanti besar kamu lulus SMA, datanglah ke perpustakaan yang sering kita kunjungi. Ayah akan menunggumu di sana."
"Siap Ayah! Maya pasti bakal ke sana! Ayah harus bawa banyak oleh-oleh, yak!"
Seorang lelaki gagah dengan pakaian, topi, dan masker yang berwarna serba hitam itu melepaskan pelukannya dari sang anaknya. Kedua tangannya memegang pipi gadis kecilnya.
Lelaki tersebut lekas mengacungkan jari kelingkingnya. "Janji?"
"Janji."
Maya lekas terbangun dari mimpi sorenya. Hari ini sekolahnya pulang cepat, mungkin karena ada rapat para guru.
Maya bangkit dari tempat tidurnya, berjalan pelan ke jendela yang lumayan besar di kamarnya, memandang langit yang mulai menggelap.
"Cerita apa?" gumamnya.
Maya lupa. Apakah tadi hanya sebuah mimpi kisah masa kecilnya yang lama tak dikenang, atau ada suatu pesan? Di mimpi tadi Maya memimpikan dirinya saat kecil bersama seorang lelaki. Seperti yang di mimpi tadi, Maya kecil mengatakan kata, "Ayah".
Maya mendesis sebal. Kenapa di dalam mimpi itu dirinya tidak dapat melihat wajah ayahnya? Seperti ada yang di sensor di sana. Mimpi tadi, kenapa dirinya dapat merasakan?
Maya menghela napas kesal. "Mimpi doang. Tapi jika itu benar ... ntar gue bakal ke sana," gumamnya pasti.
Suara pintu kamar Maya berbunyi dengan pelan, menandakan ada seseorang yang masuk ke dalam kamar Maya. Maya sontak menoleh ke belakang, bukankah ia sudah mengunci pintunya dari dalam, lalu kenapa pintu kamarnya masih bisa dibuka?
Ah, sial. Maya melupakannya!
Maya diam saja sembari menatap bundanya yang datang menghampirinya dengan membawakan piring yang berisikan buah apel yang sudah dipotong.
Maya terlihat gugup, mungkin karena sudah jarang seperti ini.
Cristy tahu jika anaknya baru saja bangun dari tidurnya. "Pagi tadi kamu mencoba menghindar dari Bunda, ya?"
Maya masih diam dengan raut wajah yang nampak sedikit gugup.
Cristy tersenyum sembari mengelus pipi anaknya lembut lalu mengelus kepala anaknya. "Anak Bunda udah besar aja."
Emang selama ini aku terlihat kecil ya, Bun? ucap suara hati Maya.
"Kenapa masih diam? Ini, dimakan. Apelnya segar-segar, lho." Cristy duduk ditempat tidur anaknya. Ia masih menatap keberadaan Maya yang masih berdiri menatapnya diam.
"Bun," panggil Maya pelan.
Cristy segera menoleh lalu berkata, "Iya, Nak?"
Maya ikut duduk ditempat tidurnya. Tatapannya tertuju pada mata bundanya dengan serius. "Jika Bunda udah anggap Maya besar. Sekarang Maya sudah harus tahu, Bun. Ayah ..." Baru saja Maya ingin melanjutkan apa yang ingin ia katakan, bundanya malah terlebih dahulu berdiri sehingga Maya sontak terdiam.
"Ayah kamu udah meninggal. Itu saja." Cristy sama sekali tak melirik anaknya lagi. Ia sedikit terkejut begitu mendengar ucapan anaknya.
"Tidak Bun. Bunda pasti tahu. Yang Maya tanyakan itu, apakah Ayah dibunuh atau meninggal karena sakit?" Maya berjalan dan menatap bundanya yang sekarang ada di depannya. Wajah Maya terlihat murung dan bingung. Sebenarnya ia tak tahu mengapa ayahnya bisa meninggal. Maya selalu mencari tahu, tapi semuanya tak kunjung ia ketahui.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Nerd Boy
Novela JuvenilSebuah kisah cinta yang berbeda dari biasanya. Maya Nuramita, cewek dengan nama panggilannya adalah Maya. Dan, cewek yang dibilang sangat sempurna itu mencintai seorang lelaki cupu? "Gue cinta sama lo! Dan gue akan selalu nempel ke elo!" -- Maya...