TIGA PULUH TUJUH

812 66 3
                                    

Tiga hari telah berlalu, seperti biasa pada tiga hari itu Naya beserta Cristy selalu menemani Maya yang ada di dalam ruangan, tak ada yang mau keluar ruangan dari salah satu mereka. Martin dan Alvaro pun tiap pagi, siang, dan malam selalu menjenguk Maya dan memberikan makanan untuk Maya, Naya, dan bunda dari kedua anak itu. Walau Maya terkadang tidak nafsu untuk makan, saudara kembarnya tetap memaksanya makan agar Maya lekas sembuh.

Selama tiga hari Maya dengan keras kepala selalu membaca bukunya, bahkan terkadang dirinya bangun sendiri untuk ke kamar mandi. Walau sebenarnya rasa sakit itu tiba-tiba ada, tapi ia tetap menahannya.

Dimata Alvaro, Maya begitu berbeda sekarang. Walau sebenarnya ia juga sangat merindukan Maya dulu. Begitupun dengan Maya, ia merindukan Alva dulu. Alva kini telah lemah dimatanya.

Karena kesibukan Alvaro memikirkan Maya, dirinyaa sama sekali tidak memikirkan keberadaan Dika ataupun memikirkan apa yang sedang Dika lakukan.

Dan satu lagi, kini Maya telah mengetahui semua kebenarannya. Cerita dari yang Naya alami dan juga yang Alvaro alami. Termasuk cerita yang dialami bundanya terhadap masalah yang sama-sama menimpa.

Kini matahari pagi memancarkan cahayanya. Bel masuk belum berbunyi. Masih ada waktu lima menit untuk menunggu.

Di samping, Alvaro terus memperhatikan Maya dalam diam. Walau sebenarnya Maya merasakan itu.

"Wah, apa kabarnya nih?" Sinta tiba-tiba datang menghampiri Maya.

Alvaro menajamkan matanya. Maya sama sekali tidak mengetahui sifat asli cewek itu. Jika ia tau, maka bisa-bisa Maya kembali merasakan rasa sakit.

Karena Alvaro ingat kata dokter.

"Di sekolah nanti, walau Maya memaksakan diri untuk ke sana. Tetap harus berhati-hati. Rasa sakit itu mungkin tiba-tiba bisa saja akan muncul."

"Intinya jangan buat dia merasa tertekan ataupun emosi, karena hal itu bisa saja membuatnya mulai kelelahan dan rasa sakit itu mendadak muncul."

Dan benar saja, sekarang Maya memegang kepalanya. Baru saja Alvaro ingin membantu Maya tetapi Maya memberikan kode untuknya agar tidak menghalanginya.

"Hey, lo mengabaikan gue?" Sinta melambai-lambaikan tangannya tepat pada wajah Maya.

Maya tersenyum tipis. Kini tangannya tidak memegang kepalanya lagi. "Tidak, tadi gue cuman pusing."

"Alasan. Bangun, ikut gue ke toilet." Kedua tangan Sinta bersidekap di depan dada. Ia menyeringai. Ada yang aneh dari diri Maya ini. Tapi baguslah, jika dilihat dia sedang sakit. Kini saatnya ia membalas dendam.

"Hm, baiklah." Baru saja Maya ingin bangkit dari tempat duduknya, badannya tiba-tiba lemas dan membuatnya terjatuh. Namun untung saja Alvaro lekas menangkapnya dan menyuruhnya kembali duduk.

Alvaro menatap Sinta tajam. "Dia sakit. Buat apa kau ganggu dia? Apa kau masih belum puas?"

"Gue ke toilet cuman mau buang air kecil. Lo tenang aja, jangan bantu gue. Gue bisa sendiri." Maya lekas bangkit dari tempat duduknya lalu melangkah pergi bersama Sinta.

Sedangkan Sinta tersenyum miring. Ia memalingkan wajahnya pada Alvaro sambil melambaikan tangannya pada Alvaro.

"Awas aja lo," gumam Alvaro penuh penekanan.

****

Maya mencuci kedua tangannya di wastafel usai masuk ke dalam toilet. Usai mencuci tangannya, tiba-tiba ketua kelasnya datang menghampiri.

"Lo kenapa masih ada di sini? Ayo masuk, beberapa detik lagi ujian bakal di mulai," ucapnya sambil menarik tangan Maya dan membawanya pergi. Membuat Maya diam saja mengikuti arahan darinya.

Fake Nerd BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang