EMPAT PULUH LIMA

864 58 2
                                    

Maya duduk di kursi. Dengan pandangan yang ke berbagai arah. Restoran sebesar dan semewah ini, kenapa hanya ada dirinya dan Alvaro saja? Mungkinkah makan di restoran ini mahal jadi tak ada yang mau ke sini?

"Kenapa?" tanya Alvaro bingung ketika melihat wajah Maya yang tengah melamun.

"Hah? Nggak." Maya kembali memandangi ruangan yang ada di sekitarnya.

Alunan irama musik yang serasi terasa bertambah mewah. Aroma mint menyebar ke seisi dalam restoran. Tata rias meja dan kursi yang begitu indah, vas berisi bunga mawar merah yang terletak di atas meja dengan lapik meja berwarna putih dan bercorak kuning keemasan, sama halnya dengan kursi yang berlapis kain dengan warna yang sama dengan meja. Tembok ruangan yang bercat putih dan berbagai lainnya yang terlihat mewah dan aestetic.

"Kenapa hanya ada kita berdua?" tanya Maya gugup.

"Lo maunya berapa orang di sini?" Alvaro menghela napasnya kesal, jika seperti ini, lebih baik dirinya tidak—

"Jangan bilang kalo lo yang nyewa restoran ini hanya untuk kita berdua!" sahut Maya seraya menatap Alvaro tajam dan dalam.

Alvaro menatap Maya malas. "Hm."

Maya terdiam. Bisa-bisanya ....

Alvaro bangkit dari tempat duduknya. Sambil menatap Maya santai ia berkata, "Duduk dan jangan ke mana-mana. Gue mau ke toilet dulu."

Maya mengangguk saja sebagai jawaban. Setelah kepergian Alvaro, Maya jadi lebih leluasa untuk bernapas. Sungguh! Jika ia bersama Alvaro, napasnya seakan-akan tak normal, begitu juga dengan detakan jantungnya.

Maya menatap ke langit-langit restoran yang terdapat lampu besar terlihat begitu mewah. Ia menghela napasnya panjang. "Lihatlah, Rassya. Tanpa menjelaskan pun lo udah tau." Maya tersenyum kecil. Jika mengingat kenangan bersama sahabat lamanya, rasa sedih kembali hadir. Bukan hanya itu, persahabatannya bersama Sinta pun telah berakhir. Entah kenapa Sinta harus mengakhiri persahabatan ini. Maya telah memaafkan semua kesalahan Sinta, tapi, Sinta tetap membencinya. Mau bagaimanapun, Maya harus bisa membuat persahabatannya dan Sinta kembali utuh. Walau sembilan puluh persen mungkin tak dapat diutuhkan lagi, Maya akan tetap dengan keras membuat Sinta sadar akan persahabatannya.

Suara batuk membuyarkan lamunan Maya. Maya sontak melirik ke sumber suara, di depan terlihat wajah Alvaro yang ....

Maya mendadak mendapatkan satu paket isi lima lebay-alay; mendadak terdiam, tak bernapas beberapa detik, jantung yang tak berdetak beberapa detik, ada sesuatu yang terasa panas-panas dingin di pipi, dan kakinya yang terasa begitu lemas.

"Sayangnya dia bukan milik gue," monolog Maya. Maya berdeham pelan dan mengoptimalkan keadaannya. "Kenapa masih berdiri? Duduklah."

Alvaro menuruti perintah Maya. Ia duduk sambil menatap wajah Maya.

"Apa gue ganteng?"

Maya dibuat gemas dengan pertanyaan Alvaro. "Sudah tau, malah nanya."

Alvaro terkekeh. Kini wajahnya terlihat begitu segar ketika telah membasuhnya dengan air dan sabun wajahnya di kamar mandi restoran. Bahkan kini ia tak memakai kacamata lagi, mungkin sudah tidak membutuhkannya.

Dengan rambut dan wajah yang tak seperti Alvaro nerd, membuat Maya jadi terasa aneh beberapa saat.

"Jadi sebenarnya lo ngajak gue keluar, lo cuma pengen ngeliatin wajah lo pada gue? Dan lo bakal bilang kalo gue adalah orang yang pertama kali liat wajah sekarang lo. Iya, kan?"

Alvaro menatap Maya sedikit bingung. Kenapa sikap Maya tiba-tiba berubah? Ia pikir Maya akan memujinya dan heboh seperti biasanya.

"Itu berarti lo cinta sama gue," ujar Maya menyadarkan.

Fake Nerd BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang