LIMA PULUH

1.4K 59 0
                                        

"Jadi, semua ini terjadi karena lo dong?"

Maya menatap orang yang sama bekerja sepertinya, menjadi pengacara.

"Kok jadi gue?" tanya Maya kesal. Sudah panjang lebar ia menceritakan masalahnya hari ini pada temannya, eh, dia malah jawab begitu.

Teman Maya, tak lain si Putra, ia memgambil secangkir yang berisi teh di meja lalu memberikannya pada Maya. "Minum dulu, bawa rileks. Habistu baru keluarin segala emosi lo."

Maya mengalihkan pandangannya. Ia masih tak habis pikir, temannya Martin ini ternyata juga bekerja jadi pengacara?! Ya, baru beberapa tahun ini ia tak bertemu dengan Putra, dan sekarang, tepatnya berada di rumah artis, Maya dan Putra bertemu dan sama-sama harus menjadi pengacara pada orang yang berbeda pihak karena kedua artis yang berbeda jenis kelamin itu ingin menggugat cerai dengan bersidang.

Putra menghembuskan napasnya panjang. Sambil memperbaiki jas pengacara yang terpakai di badannya, ia bertanya, "Ngomong-ngomong, gimana dengan kabar sahabat lo itu, si Lia?"

"Dia baik-baik saja, bahkan dia udah punya pacar. Pacar pilihan Naya sih." Maya menatap Putra santai. "Bagaimana dengan lo?"

Putra menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Gue udah punya istri dan anak satu, sih."

Maya tercengang. "Ohh, pantesan setelah lo pergi keluar kota untuk kuliah, lo nggak pernah ngabarin kami itu ada alasan lain. Ternyata diam-diam kepepet punya istri dan anak toh. Selamat ya."

Putra mengangguk pelan sambil tertawa kaku. "Thanks, ya. Cuma ini caranya untuk move on. Lo pasti tau. Sekarang gue juga udah bahagia dengan hidup gue."

"Haha, iya."

"Gue masih nggak percaya, kita satu profesi? Sepertinya kita akan berdebat." Maya tertawa pelan.

Kini sepasang suami istri datang menghampiri kedua pengacara yang masing-masing darinya untuk membela diri.

"Maaf telah lama menunggu. Seperti biasa, istri saya kembali memarahi saya," ucap lelaki itu.

"Mas, aku memarahi Mas karena ini demi kebaikan kita! Apa kau nggak mikirin bagaimana hidup anak kita setelah kita berpisah?!"

"Aku tidak peduli!" erang Fedi.

"Baiklah." Windi, istri dari Fedi menoleh pada Maya. Ia lekas duduk di samping Maya. "Apa anda sudah melihatnya? Saya sebagai seorang istri dan ibu capek. Saya harus terus membiarkan suami saya bersama dengan perempuan lain, saya sadar dia seorang artis. Tapi dia sudah kelewat batas." Windi terbatuk sebentar, setelah itu ia melanjutkan penjelasannya, "Makanya saya juga menerima untuk cerai. Tapi bagaimana dengan anak saya? Anak saya mengalami gangguan jiwa, mau tak mau saya harus merawatnya. Tapi saya juga seorang artis, saya juga sering meninggalkan anak saya demi mendapatkan uang. Sedangkan dia?" Windi melirik suaminya sekilas. "Dia tidak pernah menafkahi kami. Gajinya dipermainkan untuk bersenang-senang dengan perempuan lain. Uang gaji saya tak seberapa dan itupun untuk makan saya dan anak saya."

"Anak anda bisa dibawa ke rumah sakit jiwa, kan?" celetuk Putra.

Maya refleks menatap Putra tajam. Bisa-bisanya Putra mengatakan itu dengan enteng.

"Benar kata pengacaraku, kau bisa memasukannya ke rumah sakit jiwa. Lagian, siapa yang ingin merawat anak gila itu," sahut Fedi pada istrinya.

Maya menghela napasnya sambil menenangkan Windi. "Kenapa harus berpisah? Jika kalian berpisah, maka anak kalian akan mengenai dampaknya juga. Tidak hanya jiwa yang rusak, tapi juga dengan mental."

"Sepertinya, kita perlu menceritakan segala masalah agar perpisahan ini cepat dilakukan," ucap Fedi. Fedi menatap Putra datar. "Ikutlah dengan saya. Saya akan menceritakan bagaimana sifat busuk istri saya selama ini."

Fake Nerd BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang